Jumat, Januari 28, 2011

Sabtu, Januari 22, 2011

Hitler Pernah Menjadi Khatib Shalat Ied

Bermula dari rekomendasi Haji Sukardi yang mengusulkan aku untuk menjadi khatib pada sholat Idul Fitri nanti. Gila apa? Orang macam aku jadi khatib. Dilihat dari sudut manapun, aku tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi khatib. Bukan apa-apa,kelakuanku tidak pantas untuk dijadikan contoh bagi umat.

Tapi Haji Sukardi bersikeras. Kata beliau aku terlalu banyak omong. Biar tahu rasa katanya. Jama’ah akhirnya maklum. Dengan berat hati, aku mulai mencari bahan. Kuhapal beberapa ayat, cukup itu saja. Aku tidak meniru gaya siapapun. Gaya yang aku pakai nanti ya gayaku sendiri.

Pada saatnya tiba, aku berhasil melakukannya dengan sempurna. Setidaknya menurutku. Meskipun grogi setengah mati.

Setelah acara sholat selesai, jamaah pun pulang sambil bersalam-salaman. Aku juga begitu. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengikutiku. Seorang lelaki tua yang bermata tajam. Aku tak mengenalnya. Bahkan melihatnyapun belum pernah. . Mengikuti sampai ke rumahku.

“Anakku,” katanya padaku. “ Aku melihat Hitler di sana. Ya, di mimbar khotbahmu itu. Aku melihat seolah Joseph Goebbels masih hidup dan mempersiapkan penampilanmu. Kau tadi begitu menjadi pusat perhatian. Dan kami seakan menjadi pasukan SS NAZI yang siap kau perintah menggulung Eropa. Kau tahu Anakku?, Aku benar-benar melihat jiwa Hitler dalam dirimu”. Aku hanya diam.

“Kau suka menggambar?” Aku hanya mengangguk.

“ Kau kepingin jadi seniman?” Aku pun kembali mengangguk.

“ Kau lemah dan penyakitan dan mengalami penolakan-penolakan?” Aku terdiam.

“ Itu semua ada pada diri Hitler muda, kurasa kau juga pendendam, penuh curiga dan sakit jiwa”. Aku semakin tak paham pada ocehan kakek tua ini. Rupanya kakek ini manusia sisa perang yang sedikit melek sejarah, atau menurutku, dia pasti penggemar novel-novel perang.

“ Walaupun orasimu menngetarkan, aku tak menyebutmu mirip Sukarno. Dia terlalu flamboyan, sedangkan kamu? Payah. Hanya Hitler perumpamaan yang tepat untukmu. Ya, hanya dia.” Katanya berapi-api.

“ Anakku, kau punya bakat memprovokasi, menggerakan masa, juga pembunuh kejam dan psikopat. Kau sakit jiwa. Kalau kau tidak menemukan pegangan yang tepat, kau berbahaya bagi dunia. Kalau kau tidak memegang aqidah yang kau yakini, kalau kau tak mempunyai Tuhan, sejarah akan berulang.” Ia terus mengoceh sementara sku semakin tak paham.

Akhirnya aku angkat bicara, “ Kakek, kakek belum makan? Kita makan dulu ya, kek.” Bukan apa-apa, ketupat lebaran dan opor ayam seakan meledekku dari tadi.

“ Itu yang aku tunggu dari tadi , Anakku”. Ia mulai menurunkan nada bicaranya.

Aku yang sedari tadi menahan lapar, akhirnya melahap ketupat lebaran dan opor ayam buatan ibuku dengan rakus. Si kakek tua tadi juga terlihat begitu menikmati menu yang sama sepertiku.

“ Kau tahu anakku, Hitler…..” katanya mulai bicara lagi.

“ Maaf kakek, simpan dulu Hitler-mu itu, kita nikmati saja ketupat ini.” Aku terpaksa memotong pembicaraannya.

Setelah kami selesai makan, si kakek kembali bercerita tentang Hitler, Sekutu,Perang Dunia kedua dan tetek bengek sejarah yang membuat aku pusing.

Anakku, Kelak Gurumu Menganggapmu Bodoh, Tapi Sejarah Mencatatnya Terbalik


Anakku, hari ini kamu ulang tahun ya? Oh, sudah lewat? Tak mengapa , anakku. Kamu bukannya sebatang pohon yang ukuran kemanfaatanmu diukur dari lingkaran tahun. Kamu adalah mahakarya-Nya. Masterpiece Allah yang sempurna tercipta dengan keunikanmu.

Nak, bersiaplah, sebentar lagi dunia akan kejam padamu. Dokter anak, praktisi pendidikan, psikolog, bahkan guru-gurumu akan mengecapmu dengan berbagai stempel yang terdengar keren. Sangat keren. Sangat buku. Sangat intelek. Tapi diam-diam ia membunuh karaktermu. Menginjak-injakmu saat kamu baru mulai bertunas. Mematikan daya terbesarmu. Nanti kau akan sering mendengar kata-kata ADHD, atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder, Dysleksia,Autis, Hiperaktif dan macam-macam kata yang ujungnya sindrom. Bagi ayah, itu semua tidak ada. Kamu itu unik. Teman-temanmu unik. Setiap pribadi yang lahir itu unik. Sebab seperti ayah bilang, kamu, teman-temanmu tercipta sempurna, betapapun keadaanmu. ‘Akhsanul Khaliqin’ begitu kata Tuhan.

Suatu hari nanti, gurumu akan menganggapmu bodoh–seperti gurunya Albert Einstein, gurunya Thomas Alfa Edison– ketika kamu kesulitan membaca, kesulitan menulis juga kesulitan menghitung. Tapi kamu lihat bukan? Sejarah mencatat dengan cukup jelas siapa yang bodoh.

Kamu jangan kaget jika nanti ‘kecerdasan’mu akan diukur. Aneh bukan? Kecerdasan bisa diukur. Sedangkan tolok ukurnya cuma logis matematis. Sedangkan kamu, juga teman-temanmu mungkin mempunyai kecerdasan lain yang tidak bisa diukur dengan metode test semacam itu.

Bersiaplah anakku, sebentar lagi sekolahmu (baca : gurumu) akan bersikap tidak adil padamu. Kamu harus mempelajari sesuatu yang kamu tidak suka. Sesuatu yang mungkin tidak bermanfaat bagi hidupmu kelak. Kau terpaksa akan mempelajari sinus, cosinus, tangent dan lain-lain sedangkan mungkin kelak kamu hanya memerlukan ketrampilan menjumlahkan, mengalikan, membagi dan mengurangkan. Kamu juga harus menghafalkan angka-angka, tahun-tahun, kapan terjadinya perang Diponegoro, kapan Amerika ditemukan—seakan-akan benua Amerika pernah hilang–, kapan Patih Gajah Mada menikah, dan seterusnya. Guru Pelajaran Agama-mu juga dengan arogan mengancam kalau kelak kamu akan dimasukkan ke dalam neraka kalau kamu nakal. Guru Kesenianmu tak kalah belagu. Menggambar langit harus berwarna biru, daun harus berwarna hijau. Kalau kamu berbeda, maka kamu dianggap bodoh.

Anakku, ayah tidak punya hak terhadapmu. Ayah hanya mempunyai kewajiban terhadapmu. Mengantarkanmu mendapatkan pendidikan terbaik. Mengantarkanmu. Ya, mengantarkanmu. Tapi ayah khawatir. Kalau dunia pendidikan kita masih seperti ini, apakah ayah tega melepasmu di sekolah. Sedangkan ayah pulang ke rumah terus buka Kompasiana? Oh, kelak Tuhan akan marah. Oh bukan. Bukan. Sekarang pun Tuhan telah mulai marah. Padahal melalui Nabi-Nya, Tuhan telah berpesan, jangan tinggalkan generasi yang lemah dibelakangmu. Berarti ayah harus merubah semua ini. Doakan ya Nak, semoga ayah bisa memulainya. Teriak dong, hidup Ayah!!!

Psikologi Kartu Undangan

Sepuluh tahun berprofesi sebagai tukang cetak, sudah ribuan kali aku bertugas mencetak kartu undangan. Bahkan sampai undangan nikah orang Malaysia dan Singapura. Dari ribuan kali mataku melihat model, jenis kertas, warna kertas, warna tinta, bahasa, sampai aksesori yang dipakai di dalam kartu undangan, aku bisa menyimpulkan karakter dan sifat-sifat kedua mempelai.

Kawan, berikut ini hasil penelitianku tersebut :

-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna hijau — rumahnya menghadap ke utara.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna kuning —kakeknya pernah ke Jerman.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna merah —tetangganya bekas tentara.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna merah jambu —tantenya cantik.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna hitam dan putih —ada gejala buta warna.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna coklat —waktu di khitan sembuhnya lama.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna ungu —rokoknya, rokok putih.
-Mereka yang membuat kartu undangan berwarna coklat muda — punya luka di lutut sebelah kiri.
-Mereka yang membuat kartu undangan dan kurang puas dengan hasilnya —pingin nikah lagi.
-Mereka yang membuat kartu undangan datang ke percetakan naik sepeda motor tidak memakai helm— tetangganya Polantas.
-Mereka yang membelikan kopi tukang cetak undangan—jatuh cinta pada tukang cetak.
-Mereka yang membuat kartu undangan dan foto pre weddingnya sangat mesra—waktu pacaran pernah berciuman.
-Mereka yang membuat kartu undangan dan tidak memakai foto pre wedding—takut sama MUI.
-Mereka yang membuat kartu undangan ribet dan mahal—yang kondangan bupati.
-Mereka yang membuat kartu undangan sedikit sekali—handpone-nya CDMA.
-Mereka yang membuat kartu undangan fotokopian—menunya ikan tongkol.
-Mereka yang membuat kartu undangan ukuran 13,5 x 18 cm—resepsinya nanggap dangdut.
-Mereka yang membuat kartu undangan memakai puisi—belum pernah baca Khalil Gibran.
-Mereka yang membuat kartu undangan memakai huruf kanji—kedua mempelai berkulit putih.
-Mereka yang mendesain undangan,mencetak, finishing, dan memasukkannya ke plastik sendiri—pernah dikecewakan penerbit.
-Mereka yang mengkoleksi kartu undangan—tak laku-laku.
-Mereka yang malas bikin kartu undangan dan malas nikah—mempunyai tato kupu-kupu di pinggulnya.