Senin, Februari 21, 2011

yess!

Setelah pekan-pekan sebelumnya bener-bener sakit jiwa, pekan ini aku mulai bangkit. Minggu Lalu, betapa seolah-olah ada pribadi lain yang menguasai jalan pikiranku. Melakukan hal-hal sederhanapun aku sama sekali tidak nyambung. Aktifitas yang menyenangkan seperti membaca, nonton film, makan enak bahkan tidur pun menjadi tidak menarik bagiku. Bercinta? Apalagi. Hidup terasa blank. Mirip doraemon habis kadaluwarsanya.

Tapi itu kemarin, hari ini, aku mulai melihat segala sesuatu dari segi positifnya. Tanpa marah, tanpa kecewa, tanpa takut, tanpa khawatir. Tanpa cemburu. Pokoknya hidup serba indah. Dan ternyata, keajaiban-keajaiban perlahan mulai muncul, menemani , memeluk dan sepertinya enggan melepaskan.

Selasa, Februari 08, 2011

Judulnya,Every Big Step Starts With an Inch

Kalau diibaratkan penyanyi, aku ini masih pengamen jalanan. Pengamen yang kadang-kadang manggung di acara pernikahan, sunatan ataupun ulang tahun. Laku, puas, tapi belum bisa memperoleh materi yang melimpah. Ketertarikanku akan dunia visual grafis, berawal dari rasa penasaran pada ilustrasi buku belajar membaca waktu kelas dua SD dulu. “Ini cara bikinnya gimana ya?” Rasa penasaran itu terus menghantui setiap langkah saya selanjutnya.

Kemudian secara ajaib ketika lulus SMA dan tidak bisa melanjutkan kuliah, aku bekerja di sebuah percetakan. Dengan posisi yang sangat cihuy, yakni tukang sapu. Bayarannya, cihuy pula. Gajiku sebulan cukup untuk membeli empat puluh botol teh Sos*o. Lain dari itu, yah cukup dikasih makan kenyang tiga kali sehari. Lalu aku naik jabatan jadi asisten operator cetak, terus akhirnya jadi operator cetak. Puas? Belum. Karena bukan di sini hasrat saya. Aku ingin menjadi seseorang dibalik sesuatu, bukan hanya tukang.

Dengan berbagai lika-likunya akhirnya aku bermuara pada sebuah profesi yang boleh dikatakan, “Ini lho yang aku cari”. Puas? Belum juga. Sebab posisiku saat ini—menurut isilah sebuah e-magz gitu, masih dalam dikotomi otodidak - atautidak. Aku memang belajar rancang grafis secara otodidak. Lewat buku, majalah, internet, dan tanya-tanya pada orang yang berpengalaman di bidangnya. Menurut anggapan sebagian orang, yang otodidak biasanya kurang mengerti tentang psikologi warna, nirmana, atau macam-macam istilah desain grafis lainnya. Sedangkan yang atau tidak (baca ; lulusan universitas, anak-anak DKV) lebih pede untuk mengaktualisasikan karya-karyanya karena mereka merasa lebih punya otoritas untuk menunjukkan diri.

Yang otodidak juga sering hanya dicap sebagai ‘tukang’. Karena memang biasanya ruang lingkupnya terbatas hanya sebagai tukang setting undangan di percetakan. Kalaupun seumpamanya berhasil mendesain brosur ataupun logo, maka harga yang didapat amat kecil.

Tapi, seperti aku bilang tadi, aku memang masih pengamen, tapi ingin menjadi legend. Seperti Iwan Fals. Dan yang aku lakukan saat ini adalah usaha untuk mewujudkan mimpi saya—meminjam istilah film-film kartun--menguasai dunia!. Menguasai dunia berarti meninggalkan tanda pada dunia, sekecil apapun. Menyusun satu demi satu puzzle mimpi, sambil melakukan aktifitas yang sangat yummy yaitu, membaca, menggambar, menulis, dan bercinta. Sehingga kelak sejarah mencatat dengan sangat manis bahwa Pinsil Tempur pernah ada dan mewarnai dunia. Atau kami menyebutnya, meninggalkan tanda.

Sabtu, Februari 05, 2011

San Fransisco,dan wanita yang kencing di ruang tamu

Dulu, sekitar tahun 1985-an, saudara ibuku bekerja di agen sembako atau apa gitu. Yang jelas setiap tahun baru, dia selalu membawa beberapa kalender dari berbagai supplier. Mungkin hadiah atau semacam promosi. Dan biasanya di kampung kalender itu dibagi-bagikan ke tetangga. Dan keluargaku selalu punya kesempatan pertama untuk memilih.

Aku yang pada waktu itu berumur sekitar lima tahun, mulai ikut-ikutan memilih. Ada beberapa pilihan yang ada. Ada gambar pemandangan, kaligrafi, gambar masjid, artis ibukota, gambar mobil, dan juga gambar wanita seksi yang hanya berbikini dan nyaris telanjang. Naluri laki-lakiku timbul. Aku memilih kalender bergambar wanita seksi. Hingga terjadi dialog antara aku dan ibuku.

Aku : “Mbok”, maksudku simbok, panggilanku pada ibu. “pilih yang gambar ini aja ya, bagus.”

Ibuku: “Jangan le, dimana bagusnya?, orang gak pake celana gitu. Terus kalo dia nanti berak sama pipis di rumah kita gimana? Kan rumah kita jadi bau.”

Aku : “Ah, simbok, ya udah yang ini aja.” Kataku sambil memilih gambar sebuah jembatan panjang berwarna merah dan dibawahnya hilir mudik perahu-perahu cantik.

Dan kelak ketika aku sudah bisa membaca, tulisan dibawah gambar itu terbaca : ‘ San Fransisco’.

Kalau nanti aku bisa mengunjungi jembatan ini, mungkin ia masih seindah gambarnya dulu, tetapi kalau yang aku pasang gambar wanita seksi itu, jangankan nanti, mungkin sekarangpun sudah jadi nenek-nenek peot. Terima kasih Ibu.