Kurasa aku harus memulai cerita
ini dengan menjelaskan bahwa tulisan ini diketik tanpa menggunakan jari
kelingking. Beneran. Bahkan aku belum lama lepas dari
usaha mencari dimana tuts berada. Huruf x dimana, c dimana. Jadi kalau kamu
menemukan beberapa kesalahan ketik, wajar.
Aku tiap hari berangat kerja naik
angin. Yang dibungkus karet, warna hitam. Namanya ban. Menempel di sepeda
motor. Intinya, aku naik sepeda motor. Gitu. Tapi tiap hari Jum’at, aku naik
angin yang menempel di sepeda. Ih, berasa jadi avatar deh naik angin.
Sepeda itu sudah menemani sejak
2008. Berapa tahun ya? Bentar, dua ribu
empat belas dikurangi duaribu delapan, enam, iya sudah enam tahun menamani aku.
Gak gitu juga sih, beberapa tahun sempat aku abaikan gegara sering
pindah-pindah.
Itu sepeda hadiah dari istri
waktu kami benar-benar susah. Dibeli dengan cara dikredit. Dengan cara susah
payah. Pengen deh saya tempeli sticker dengan tulisan ‘Inget jaman susah, mas’
dengan lem yang kuat. Yang cuma bisa lepas seminggu sebelum kiamat. Tapi nanti
malah norak. Gak jadi deh.
Jum’at pagi aku berangkat naik
sepeda. Aku kebut dengan kecepatan yang lumayan. Sampai dengkulku
berasap. Becanda deng. Gak gitu-gitu amat sih, tapi dengkul rasanya kek
kebakar.
Sampai di pabrik terus senam.
Senam dengan musik dangdut yang di ajeb-ajebin. Dipimpin oleh ibu-ibu yang
pengen disebut seksi. Padahal gak bagiku. Terus bekerja seperti biasa. Terus
sholat jum’at yang ngantuk. Terus sorenya
pulang.
Bersepeda bagiku hanya sebagai
usaha untuk mendisiplinkan diri dalam berolahraga. Aku gampang bosan. Gak
konsisten. Aku gak mau jadi hilang keseksian gegara perut buncit. Aku rela full
uban kek Hatta Rajasa,asal perut gak buncit. Pengen sih tiap hari bersepeda,
tapi capek. Lagi pula produksi keringatku bener-bener surplus. Kaos basah
melulu. Pokoknya aku pengen sehat sampai tua. Sampai mati.
Sepedaku namanya Sigro. Artinya
cepat. Sedangkan sepeda motorku namanya Migu. Asal kata dari migunani. Artinya
berguna.
Dengan Sigro aku kek teman deket.
Dia baik, sopan, pendiam. Yaeyalah. Dengan Migu mungkin aku lebih sering
berinteraksi sehingga lebih banyak pengalaman bersama. Pernah ngebut, jatuh,
mogok, nabrak, mendorong gegara habis bensin, dengan ransel berisi sepuluh
liter jus. Bulan puasa lagi.
Seperti pada waktu itu, hari
sudah sore. Sebentar lagi maghrib. Aku ngebut naik Migu. Tiba-tiba dari balik
tembok melompat seekor anak sapi. Aku reflek mengerem sekuat tenaga. Migu
oleng. Jantung berdetak gak karuan. Dari mulutku reflek keluar makian America
State of United kepada sapi itu. Sapinya cuek. Sebel ih.
Gak tahunya itu sapi
Sunda. Aku teriaknya pake bahasa Jawa.
Perlu aku luruskan. Itu bukan
makian. Itu adalah sebuah bentuk sopan santun ke sapi. Sapi yang salah, tapi
anjing yang jadi kambing hitam. Tunggu, kalau anjing jadi kambing hitam, nanti
malah jadi halal dipotong. Bingung ih. Maksudku siapapun yang salah, anjing
yang disalahkan. Seperti pada waktu ada orang naik motor digeber-geber dengan
knalpot modifikasi, yang aku salahkan tetap anjing. Gak sopan sih, tapi namanya
juga reflek. Pokoknya don trey dis et hom deh.
Bagiku dua-duanya keren kek kamu
dan aku. Mewarnai episode hidupku saat ini. Entahlah mungkin Migu atau Sigro
masih ada sampai dua hari sebelum kiamat. Atau mereka duluan pergi sebelum aku
mati. Itu akan membuatku mengenangnya. Mungkin nanti aku punya mobil, punya
helicopter, jet pribadi, atau kapal pesiar.
Tapi Migu dan Sigro adalah soal
lain. Kata Sujiwo Tedjo, mudah untuk pindah kos-kosan, tapi susah untuk
menghapus kenangannya.
Atau mungkin sebenarnya mereka
transformer. Yang bisa berubah jadi robot cerdas. Terus baca tulisan ini.
Paling tidak mereka tahu bahwa aku bilang mereka keren. Mereka pasti senyum
bangga. Pengen terharu deh.
Sudahlah sudah malam. Harus
tidur, biar ganteng. Dadah Migu, dadah Sigro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar