Hari sudah sore, Tangerang
sebentar lagi hujan. Sudah beberapa bulan ini, aku gak pernah ngerasain hujan
turun sore-sore gini. Hujan senja yang selalu aku terjemahin sebagai melankoli
ini, adalah suasana yang paling kurindukan setelah ibu.
Aku sedang menunggu SMS dari
seseorang yang sebenarnya tidak perlu aku tunggu. Tapi entah kenapa aku jadi
aneh ketika SMS itu gak kunjung mampir di hapeku. Aneh memang, padahal SMS itu
terkadang cuma sekedar huruf Y, yang berarti ya, atau oke. Tapi hatiku senang. Aku
kadang perlu memancingnya dengan pura-pura nanya sesuatu yang sebenarnya aku
gak pengen tahu. Kemudian dijawab. Jawaban itulah yang kadang aku
tunggu-tunggu.
Ada episode yang menurutku sangat
menggergaji dibulan-bulan belakangan ini. Aku mulai latihan menyetir. Program
dari pabrik tempatku bekerja. Aku bekerja di pabrik jus, itu sudah kuceritakan
dulu. Sebuah aktifitas yang osem. Berlatih mengendalikan kotak besi seberat
paling tidak 2000 kilogram berjalan sesuai aturan. Aku yang payah dalam konsep
ruang dan koordinasi antara tangan, kaki dan otak yang lumayan mengkhawatirkan,
menemui beberapa masalah dalam belajar. Perintah antara injek kopling, masukin
gigi, angkat kopling, injek gas, bagiku seperti horror. Ketuker-tuker. Jalan,
mati. Jalan lagi, mati lagi. Maju mundur cantik, maju mundur gubrak. Roda
belakang menginjak ember yang dibawa dari pabrik sebagi pembatas latihan
parkir. Besoknya si Herman terpaksa mencoba membetulkan ember itu ke posisi
seperti semula. Untungnya mentor menyetir ini orangnya sabar. Tidak seperti
Nyonya Puff, berkali kali dirawat di rumah sakit gegara ngajarin Spongebob
menyetir. Hanya saja, mungkin setelah melatihku, stok sabarnya anjlok mendekati
strip merah. Sambil bunyi rilud, rilud. Kek di gem-gem gitu.
Sabar, kata pak Damardjati
almarhum, itu tidak ada batasnya, demikian juga ikhlas. Tapi sepertinya beliau
akan berkata lain kalau beliau melatihku menyetir. Sabar itu memang tidak ada
batasnya, tapi perlu di rilud. Iya heu-euh. Perlu dibasuh, perlu dilatih dengan
tekun. Perlu pengalaman bertahun-tahun.
Hari-hari belakangan ini aku juga
sibuk. Sibuk pengaman. Sibuk santai kata Pidi Baiq. Menghabiskan waktu dengan
bersenang-senang yang orang sebut sebagai ; bekerja. Belajar hal-hal baru yang
betul-betul menghabiskan waktu. Sehingga frasa ‘gak kerasa ya, waktu cepet
banget’ adalah sebuah pembelaan yang terlambat. ‘Gak kerasa’ sebenarnya penuh
rasa. Rasa lelah, bosen, khawatir, harap-harap cemas, sayang, peduli dan
semacamnya.
Mungkin aku terlalu sibuk
menghabiskan waktu dan berpikir semuanya baik-baik saja. Sehingga lupa mengecek
matahari telat apa gak? Malam terlalu panjangkah? Oh, itu tugas malaikat.
Bukan-bukan itu, maksudku gini ; aku sering lupa pada tugas-tugasku sendiri. Kalo
bahasanya praktisi MLM, aku masih terjebak zona nyaman. Perbaikan-perbaikan
yang signifikan gak terlalu kelihatan progresnya. Anjreet bahasanya sok inggris
amat seh. Sedangkan uban semakin banyak. Artinya, dalam beberapa hal, aku masih
melakukan hal sia-sia. Seperti menyalakan lampu motor siang hari, pake kaos
kaki setelah pake sepatu atau nonton film donlotan berulang-ulang.
Ngomong-ngomong soal uban, aku
sebenarnya tidak terlalu merisaukannya. Ia adalah bagian dari perjalanan yang
harus aku nikmati. Tapi entah kenapa, belakangan ini aku lebih menyukai
potongan rambut plontos. Kek Andi Noya, kek Dedi Corbuzier. Persoalan belum
selesai, untuk menjaga kondisi rambut seperti itu, biayanya tidak sedikit.
Taruhlah sekali potong rambut antara sepuluh ribu sampai lima belas ribu
rupiah, berapa biaya yang diperlukan kalau setiap dua hari sekali harus
dipotong dan dilicinkan. Kabar ‘buruknya’, ide untuk memelontoskan rambut ini,
ternyata membuat kecanduan. Panjang dikit pengen dipotong, panjang dikit pengen
dipotong, panj.. udah dua kali aja. Ya gitu deh, karena adem, semriwing dan
keren. Bukan hanya itu deng. Lelaki yang berani botak itu lelaki pemberani. Gak
percaya? Cobalah tantang suamimu atau pacarmu untuk pelontosin rambut. Oya
sebab kenapa aku beruban? Ini tidak lebih karena salah mantra.
Ketika mau
berubah jadi ranger merah, harusnya aku teriak Berubah!, tapi aku malah teriak
Beruban! Jadilah aku beruban. Becanda deng.
Episode bulan-bulan ini juga
bukan cuma diwarnai dengan nyetir dan uban, tapi terkaparnya aku oleh serangan
bakteri salmonella sialan. Aku sempat dirawat selama tiga hari gegara kena
gejala tipus. Istirahat total dirawat suster-suster cantik. Beneran, disini
teori tentang cantik itu relatif, berlaku dengan jujur. Dari beberapa orang
suster, semuanya cantik. Jadi gini, oke, cantik itu relatif, tapi apapun
definisi cantik menurut kamu, kamu pasti akan bilang kalo mereka itu cantik.
Sungguh.
Baiklah kita beralih ke tema lain. Beberapa minggu yang lalu, bapak mertuaku meninggal. Setelah sakit beberapa hari. Tidak begitu banyak kenangan tentangnya di memoriku karena aku jarang di rumah. Beliau pendiam, sedangkan aku punya kesulitan untuk memulai segala sesuatu dengan baik. Begitu banyak miskomunikasi antara kami. Tak pernah cerita, tak pernah ngobrol. Beliau kikuk, aku kikuk. Pada saat-saat terakhir pun aku belum sempat minta maaf, karena beliau semacam koma gitu. Tapi aku yakin kami saling memaafkan. Semoga beliau tenang di sana.
Aktifitas di pabrik juga berlaku
seperti biasa. Melakukan pekerjaan rutin atau menyelesiakan hal-hal insidentil
aku lalui dengan baik. Berangkat dengan Migu—oya Migu itu nama sepeda motorku
yang berisiknya minta duit, eh ampun. Motor paling keren sepabrik. Bukan pabrik
motor, tapi pabrik jus. Paling irit BBM, paling sering mogok, paling banyak
yang nawar, juga motor dengan pemilik paling keren versi ibu-ibu komplek.
Pernah nabrak mobil, spartboard depan hancur, pernah jatuh gegara kesalahan
perhitungan dalam waktu sepersekian detik. Aku tahu didepan ada lubang di
jalanan, tapi aku terlambat menyadari sehingga aku terjatuh dan lupa jalan
pulang, aku butiran debu. Maksudku aku jatuh dan kelingking kiriku berdarah.
Lututku memar, dan wajahku ganteng. Berangkat pagi-pagi setelah rebut dengan
anak masalah mandi. Ngawasin gosok gigi, pake baju sekolah, dan kadang-kadang
nganterin. Terlambat masuk gegara mogok, terlambat pulang gegara browsing dulu.
Nengokin fesbuk, tewiter, atau sekedar cari inspirasi
Habis maghrib atau isya, belajar
hal-hal baru. Desain grafis, autocad, atau mulai serius nulis lagi. Tiap malem
aku harus belajar. Kalau tidak istriku tidak suka. Jadi aku berasa anak SD
lagi. Jangan harap main game atau nonton film donlotan. Kecuali malam minggu.
Tapi kalo aku bawa serial terbaru Hunter X Hunter, istriku sumringah dan boleh
nonton.
Sebagai peminum kopi yang taat,
sebelum belajar biasanya aku menyeduh kopi terlebih dahulu. Dengan racikan yang
bikin istri mengomel, karena hamper setengah cangkir sendiri kopinya, dengan
gula sedikit. Menyisakan endapan yang cukup tinggi di dasar cangkir sewaktu
dicuci. Setelah minum kopi kemudian memasuki kondisi alfa bukan mart. Alias
tertidur dengan ganteng. Entahlah mungkin ini sebuah anomaly. Ketika orang lain
sebelum tidur minum kopi jadi terjaga sepanjang malam, setelah minum kopi aku
malah seperti menenggak obat tidur dosis sedang.
Bangun kelewat pagi. Saat tukang
sayur berangkat, aku sudah terjaga. Dan menemukan kesulitan-kesulitan hanya
sekedar untuk terlelap kembali paling tidak ketika adzan subuh berkumandang.
Bangun menjerang air, menyeduh kopi dan menikmatinya supaya siangnya jadi
ganteng seratus persen. Oke kamu boleh tidak percaya, tapi dunia sudah
mengakuinya. Mengakui bahwa aku ngarang.
Demikianlah, pengetikan postingan
ini diinterupsi oleh anakku yang tiba-tiba mengajakku untuk main ke danau di
seberang kampung. Membuat sedikit kesenangan dengan mengebut di sempadan danau.
Anakku jadi navigator yang cuma bisa teriak, “Awas yah, lubang!”, “Awas yah,
tai kebo!” mencari buah kersen liar, kemudian berhenti menonton kerbau
berenang. Seperti banteng Afrika bermigrasi mencari rumput tetangga yang lebih
hijau. Merindukan hujan yang tak kunjung datang.
3 komentar:
Keren euy!!! izin share y mas?!!
baguuussss :))
oke....
Posting Komentar