Senin, Februari 24, 2014

Salam Tempur

Malam semakin larut, kek gula diaduk. Di luar masih gerimis, kodok ramai bernyanyi. Mungkin gegara malaikat penjaga hujan sengaja membiarkan semprotan hujan terus terbuka sepanjang hari. Rasanya gw pengen keluar menghampiri para kodok itu terus bilang gini : “aku sih yes, gak tahu kalo mas anang”. Tapi gw urungin, karena gw bener-bener kangen suara kodok bernyanyi.

Jam sudah menunjukan pukul sebelas lewat untuk wilayah Tangerang dan komputer dan henpon. Istri gw sudah tidur. Di seberang sana, di rumah tetangga, masih terdengar lagu-lagu dangdut koplo heboh. Diacara hajatan pernikahan anaknya yang sudah waktunya menikah.

Gw tadi terjebak di sana. Di acara dangdut koplo itu. Di acara penuh berkah yang hiburannya gw rasa jauh dari berkah. Menyanyikan lagu oplosan dengan penampilan yang sungguh menghianati ibu bidan. Segitiga yang melindungi perkakas paling privat dan rahasia, yang cuma boleh dilihat suaminya dan ibu bidan itu, sengaja diperlihatkan untuk khalayak. Gak ada stocking, gak ada legging, hanya segitiga itu. Padahal banyak mata di sana. Ada tipe bapak-bapak labil kek gw, ada abege labil yang baru akil baligh, yang produksi kelenjar getah testoteronnya mengalami surplus. Ada juga bapak-bapak manula labil yang punya masalah dengan prostatnya. Gw rasa mata-mata itu rata-rata tertuju ke sana. Ke arah segitiga itu. Kecuali mata gw. Cateut!

Gw mengetik postingan ini ditemani lagu-lagu blues yang gw donlot dari yutub dan kopi yang tinggal setengah. Sesiangan tadi, hujan mengguyur Tangerang dengan mesra. Berangkat kerja diwarnai insiden sepeda motor mogok gegara melewati komplek perumahan dengan drainase yang buruk.

Eh iya gw lupa, gw pengen cerita kalo gw baru saja menyimak pengajiannya Emha Ainun Nadjib dari yutub. Banyak seh yang beliau sampaikan. Tapi yang pengen gw ceritakan ke kalian adalah tentang peran kita di dunia ini. Menurutnya, banyak orang terjebak dalam kotak-kotak fakultatif. Ada yang bangga kalo jadi penulis, jadi insinyur, jadi dokter, jadi ustadz, jadi kyai, jadi presiden dan macem-macem.  Penyanyi dangdut juga. Pemulung juga. FYI, gw ngefans sama Cak Nun ini sejak gw SMA. Gegara beliau gw punya cita-cita pengen jadi seniman. Tapi sejak Negara api menyerang, gw jadi seniman obong, maksud gw hanuman.

Iya juga seh, terkadang ada yang kebanggannya naik beberapa level di atas normal cuma karena pake seragam. Terus seragamnya ada tulisan ‘crew’ , ‘security’ , atau ‘community’.

Gw kalo mau bangga juga bisa. Gw pernah jadi penulis, penulis status. Pernah bikin buku berbakat best seller tapi gak gw jual, buku tulis. Pernah jadi konsultan, ‘kongkonane wong kesulitan’, ada orang kesulitan bawa triplek, gw bantuin. Pernah jadi pengamat, pengamat ibu-ibu aerobik.

Gak penting kita jadi apa, kata beliau, kita hanya perlu sungguh-sungguh menjalani apapun saja peran kita  di dunia ini sehingga barokah yang kita dapat. Pokoke ‘ojo dumeh’.

Malam sudah larut, kek gula diaduk (ups, diatas sudah diketik) kodok masih ramai bernyanyi, mas anang sudah tidur, lagu blues sudah habis, kopi sudah habis, dan  gw cuma mau cerita itu. Waktunya tidur untuk wilayah Tangerang dan sekitarnya, salam escetepeh!