Senin, November 28, 2011

Jadi Edward Cullen dan ketemu Ayah Edy


Hari-hari ini aku mengalami yang namanya long week end. Oke, ada keganjilan dalam dunia perkalenderan. Kalender di ruanganku, sabtu 26 Nopember ini jelas-jelas merah. Jadi seminggu sebelumnya otakku telah aku set untuk libur. Pas hari Jum’atnya ternyata kalender di ruangan bos untuk tanggal yang sama tidak merah. Aneh kan? Sampai-sampai bos menyempatkan diri untuk menelpon temannya, apakah kalender temannya itu merah atau hitam untuk tanggal 26-nya.

Ibarat undang-undang, sekeren apapun ia, tidak mungkin kan UU-nya Malaysia di pake di sini? Atau sebaliknya UU Indonesia di pakai di Zaire atau Uganda? Ya sudah akhirnya bos menyetujui tanggalan yang ada di ruangan saya. Artinya, sabtu ini libur. Gak penting banget kan? Biarin.

Oke, lanjut. Anggap saja dua paragraph di atas gak ada. Aku pulang sudah agak malam. Gara-garanya, charger HP istri, terbawa di ranselku, sedangkan charger HPku, tertinggal di kantor, dua HP itu merknya berbeda dan sama-sama lowbat. Jadi istriku gak bisa menghubungiku begitu juga sebaliknya. Sehingga yang biasanya istriku menjemput ke terminal, tidak bisa. Dari terminal, aku jalan kaki. Lumayanlah untuk sekedar ngos-ngosan. Sesampai di rumah, anakku langsung minta naik keliling sepeda. Tapi buru-buru aku bikinin susu. Biar ngantuk. Sory boy, ayah capek.

Sabtu, aku bangun pagi-pagi. Istriku menyeduhkanku kopi hitam yang keren. Sesudah itu, baru Gibran bangun. Mandi, kemudian mengajak naik sepeda. Tapi karena ban sepedaku kempis, kami mampir dulu ke rumah Azzam untuk pinjam pompa. Tapi kata mbaknya, Azzam sedang berenang bersama sepupunya yang dari Lampung. Kami kemudian memompa sepeda di bengkel deket danau. Balik ke komplek, ada acara penanaman pohon yang dilakukan anak-anak kecil dari eco culture-nya group Ciputra gitu. Anakku gak mau ikut, padahal temennya, Billy ikut dengan seragam kebesaran. Maksudku, seragamnya terlalu besar untuk anak play group, karena panitia sepertinya mencetak kaos untuk ukuran anak SD kelas 4 atau 5 gitu. Ada beberapa tetangga yang ikut.

Setelah sarapan, Gibran minta diajarin menggambar. Aku buatkan beberapa gambar binatang. Lalu dengan cukup antusias, ia mulai meniru gambar yang aku buat. Tapi finishingnya itu lho yang bikin aku kaget. Beberapa binatang digambar cukup sempurna,setidaknya untuk ukuran seumuran dia. Malah terlalu sempurna. Karena ditambahin gambar alat kelamin.

Gak lama kemudian,keponakan-keponakanku datang untuk meminjam laptop. Farel yang suka les privat sama istriku datang. Aku mencuci sepeda motor dan sepeda bukan motor. Maksudku sepeda downhillku. Gibran mencuci sepedanya sendiri. Setelah itu, aku perlu ke tukang obat karena sejak Jum’at pagi kemarin tubuhku bentol-bentol merah seperti ibu-ibu salah KB.

Aku ke tukang obat Cina di belakang Sabar-subur Citra Raya, percaya deh aku dikasih obat yang biasa mereka rekomendasikan untuk ibu-ibu salah KB dengan hormon tidak teratur atau semacam itulah. Sekalian mampir ke tukang buku loak. Beberapa hari yang lalu istriku memesan buku ke sana. Ternyata buku pesanan istriku itu belum ada. Akhirnya aku membeli buku komik Revolusi-nya Jitet Koestana & Darminto M. sudarmo. Juga sebuah Chicklit terjemahan gitu. Judulnya Wanderlust. Peduli amatlah dibilang aneh, kalo aku bapak-bapak tapi baca chiklit. Yang komik Revolusi dulu sudah punya tapi hilang. Yang chiklit, ceritanya sangat tidak Indonesia. Tapi penuturan ceritanya keren dan menggergaji.

Dua orang keponakanku masih mengetik. Istriku masih mengajari si Farel. Gibran dan Memey masih heboh bermain. Tidak berapa lama, mereka istirahat. Istriku masak, menggoreng ubi dan menyeduh kopi. Ini gelas kopi kedua hari ini. Tapi sayang, generasi penerus bangsa yang bentuknya bulat-bulat montok itu tiba-tiba menyerbu gelas kopiku rame-rame. Jadi nanti kalau pabrik kopi merajalela di Indonesia, sepertinya aku layak mendapat royalty karena peranku dalam menyebarkan virus cinta pada si hitam yang seksi itu. Kemudian istriku menyeduhkan satu gelas kopi lagi untukku. Keren ya istriku?

Malam Minggu-nya, Gibran seperti biasa mengajak bersepeda. Oke, kami bersepeda keliling komplek. Beberapa kali kami berpapasan dengan anjing yang jalan buru-buru sambil pamer lidah. Mungkin sudah kebelet untuk mencari semak-semak untuk bersenang-senang atau apa gitu. maklum malam minggu :P . Anakku… maksudku kami tidak takut anjing untuk keadaan-keadaan tertentu. Tetapi kalau anjing itu pamer gigi dan suara, bukan sekedar pamer lidah, kami, dua cowok hitam manis yang sedang asik naik sepeda ini, akan berubah menjadi seganteng Edward Cullen ( baca : sepucat Edward Cullen :D)

Paginya, jalanan Citra Raya penuh oleh manusia-manusia yang rajin olah raga. Apalagi khusus hari ini dalam rangka acara Eco Culture-nya group Ciputra, jalan santai kali ini ada dorprizenya. Sebuah sepeda. Aku dan anakku beli buncis, ikan dan daun bawang untuk sarapan. Tadinya mau beli koran dan tahu bulat. Tapi entahlah tukang jualan hari ini bener-bener gak ada sama sekali. Acara makan tahu bulat sambil ngopi batal. Istriku di rumah masih menyetrika.

Setelah acara sarapan yang keren itu, kami harus buru-buru ke mall Living World untuk menghadiri acara off air Diary Bunda (acaranya antv) dengan pembicara Ayah Edy. Seorang praktisi Multiple Intelligence dan Holistic learning, penggagas program Indonesian Strong From Home, penulis buku dan sederet profesi keren lainnya. Kami sudah beberapa kali ketemu dan ngobrol dengan beliau. Kali ini aku ingin minta tanda tangan untuk kalender yang aku buat sebagai hadiah bagi teman-teman yang tadinya kepingin datang tapi tidak bisa karena beberapa sebab.

Ada beberapa sesi termasuk Tanya jawab. dan foto-foto. Aku istriku dan Gibran juga termasuk teman istriku ikut foto-foto. Tapi sayang aku gak bawa kamera. Jadi foto-foto yang seharusnya aku upload hari ini belum bisa. Karena filenya terbawa di kamera teman istriku. Waktu difoto disamping Ayah Edy, Gibran tidak lupa teriak buncissss sambil pose imut tentunya. Tapi teriaknya pelan banget.

Baiklah aku ceritakan apa saja isi talkshow tersebut. Temanya optimalisasi periode emas anak. Intinya anak-anak dalam periode emas itu (balita) adalah masa-masa yang rawan dan perlu perhatian dan penanganan yang cukup ekstra. Bukan hanya ibunya, tapi juga peran ayah ikut menentukan suksesnya periode ini.

Periode Emas Pertumbuhan Otak dimulai sejak trismester ke-tiga kehamilan sampai bayi berusia 4 tahun pada periode emas ini, diperlukan Asam Lemak Esensial yaitu Asam Lemak Omega-3 (DHA) dan Omega-6 (AA). Selain itu,pada masa ini, anak tidak boleh banyak menerima larangan. Satu kata "tidak" telah menggagalkan sekian penyambungan sel-sel otak. Bayangkan kalau setiap kali anak mencoba hal-hal baru, kemudian dilarang, maka berapa sel yang gagal tersambung?.

Salah satu tips yang diberikan Ayah Edy ketika kita memiliki anak usia emas adalah, jangan beli barang-barang mahal. Karena ketika mereka mencoba mengeksplorasi barang kita, kemudian dibanting, kita tidak sayang. Belilah barang-barangmurah, misalnya HP yang murah, kalau Nex**an sudah murah, belilah Beforian yang lebih murah. XD

Sorenya kita pulang. Ngopi lagi, bersepeda lagi.

Selasa, November 22, 2011

Subcomandante Marcos rebel dan Supinsil gembel



foto dari ookaboo.com


“sudah kubilang, kau jangan pigi bepulitik’ (komentar seseorang yang bernama semacam memorandum of understanding)

Mohon maaf kalau dua postinganku kali ini tentang tokoh politik, yang satu narsis, yang satu lagi keren.

Aku melihatnya pertama kali sekitar tahun 2008. Lewat Koran Tempo. Sosoknya waktu itu benar-benar membuatku seakan ingin berjingkrak-jingkrak, lompat-lompat salto, guling-guling dan koprol sekaligus. Betapa tidak, sesosok legenda hidup kaum rebel yang masih eksis sampai sekarang.

Bebaju lengan panjang warna coklat, jam tangan swiss army, topeng balaklava (semacam topeng ninja atau topeng maling di sinetron-sinetron Indonesia gitu), sepatu tentara, bertopi mirip Mao Tse Tung, pipa cangklong, head phone yang tersambung ke telepon satelit, amunisi melingkar seperti Rambo, syal merah yang terselempang di leher, berkuda, kemana-mana selalu membawa ayam jago, dan ini bagian yang paling keren—ranselnya penuh dengan novel.

Dialah pemimpin EZLN, Tentara pembebasan Nasional Zapatista. Menyebut dirinya Subcomandante Marcos. Entahlah siapa sebenarnya lelaki dibalik topeng balaklava itu. Sampai saat ini ia tidak pernah mau membuka topengnya kepada siapapun. Misterius sekaligus nyentrik. Rebel sekaligus flamboyan.

Dunia mengenalnya sejak 1 januari 1994. Bertepatan dengan diberlakukanya perjanjian kawasan perdagangan bebas Amerika utara (NAFTA) yang ditandatangani AS, Kanada dan Meksiko, ia memimpin sekitar tiga ribu suku Indian Maya untuk memberontak dan menyatakan perang pada pemerintah Meksiko atas keikutsertaannya pada perjanjian tersebut. Sebab dikhawatirkan dengan ikut sertanya Meksiko dalam perjanjian itu, rakyat miskin akan semakin miskin akibat membanjirnya hasil pertanian impor. Seperti jagung, kedelai dan padi. Belakangan terbukti dengan dibukanya kran NAFTA, harga jagung petani Meksiko terjun jatuh, tertimpa tangga, ketumpahan cat dan ketabrak motor. Bonyok pangkat delapan belas. Lebay? Memang.

Oke, aku tidak akan turut campur dengan ideologi El Sup, panggilan khas Subcomandante Marcos (bukan El Supinsil :D). Seperti kata temanku di atas, aku tidak sedang pigi bepulitik, aku hanya sedang mengapresiasi sepak terjangnya yang sungguh menggergaji. Betapa tidak, bedil yang dia sandang mungkin sudah karatan karena sudah lama ditanemin anggur (baca : nganggur), amunisi yang dia sandang mungkin sayang untuk dia gunakan menembak. Ia lebih suka menggunakan pena (tulisan) untuk memperjuangkan kaumnya,suku Indian miskin dan papa di Chiapas, Meksiko sana.

Ia memberitahu kepada dunia melalui cerpen-cerpennya, puisi-puisinya dan juga esai-esainya yang dimuat di koran-koran Meksiko. Pemikiran-pemikirannya bergaung dari pedalaman hutan Lacondon sampai ke seluruh dunia. Nuestra Palabra Es Nuestra Arma, kata adalah senjata. Dengan kata-katanya ia menggempur setiap sudut dan sisi kemanusiaan siapapun yang membaca tulisam-tulisannya.

Dari citranya yang fotogenik, segera saja dia menjadi ikon perjuangan semacam foto Che Guevara yang kemudian disablon di kaos-kaos, gantungan kunci, stiker, dan stensil di tembok-tembok.

Dia membaca sekaligus menulis. Banyak pembaca yang enggan menulis. Seperti aku. Aku mungkin pembaca yang lahap, tapi penulis yang cemen. Aku lelet, bahkan hanya untuk sekedar menulis kegiatan sehari-hari. Hey supinsil, tulisanmu jelek, siapa yang mau baca? Itulah kata-kata setan burik yang mangkal di otakku. Padahal, sedikit banyak menulis itu sangat baik untuk kesehatan. Percayalah, seumur-umur aku belum pernah ke dokter gigi.

Karena aku belum pernah ke dokter gigi, kalian pasti bingung ya baca postinganku kali ini? Baiklah, aku hanya ingin mengatakan bahwa Subcomandante Marcos sangat keren (paling tidak dari kacamataku, bohong, karena aku belum pernah ke dokter mata). Pertama, ia pejuang keren dan tanpa pamrih. Bagaimana mau pamrih, ia sendiri ngumpet. Dan bilang “ Sub comandante Marcos hanyalah sebuah symbol bagi perlawanan masyarakat adat”. Kedua, sosoknya itu lho, ikonik banget. Seperti Che Guevara, Yasser Arafat, Geronimo, Sudirman, Sukarno atau siapapun saja yang begitu gigih memperjuangkan apa yang diyakininya benar.

Mungkin nanti Supinsil juga demikian.Untuk itu ia sudah mempersiapkan foto terbaiknya, barangkali ada yang mau menjadikannya kaos, gantungan kunci? tapi apa yang diperjuangkan Supinsil? Menulis saja sampai saat ini hanyalah caranya untuk bersenang-senang. Judul gak nyambung, tidak ada kesinambungan antar paragraph, dan terlalu narsis. Paling-paling memperjuangkan kenaikan gaji dan royalti yang gak turun-turun.

“Kata adalah senjata” : Subcomandante Marcos

Sudah.

buncis lagi


guwe bete banget tadi malam, males banget mo ngapa-ngapain yaudahdeh gamabar anak dan istri aja lah semangattt!

Rabu, November 16, 2011

Hari minggu yang menggergaji


Minggu, 13 Nopember…

Hari itu aku awali dengan bangun cukup pagi, setelah sholat subuh, aku bangunkan Gibran. Biasanya kalau dibangunkan pagi-pagi, ia akan marah-marah, tapi karena semalam aku janjikan bersepeda hari ini, dengan semangat Ben 10, ia bangun kemudian minta mandi. Mau mandi sama ayah katanya, kan cowok harusnya mandinya sama cowok, yeah padahal sehari-hari yang mandiin juga bundanya.

Sesudah mandi, aku keluar mengambil kunci gembok, membuka gerbang dan kembali masuk ke dalam mengambil sepatu. Gibran sudah di luar, menunggu tak sabar.

Tiba-tiba dia teriak-teriak gak jelas. Heboh. Aku yang sedang memasang tali sepatu menengok kaget. Rupanya dia sedang ditunggui dua ekor anjing tetangga segede ‘dinosaurus gajah ‘. Aku berbalik kemudian aku usir kedua ekor anjing iseng itu. Yang diusir anjingnya, bukan cuma ekornya :D.

Gibran ngamuk-ngamuk, pukul-pukul ke aku. Sebab sambil mengusir anjing itu, aku tertawa geli. Entahlah, dia pikir ayahnya menyanyi diatas penderitaan orang lain (perasaan tadi tertawa deh, bukan menyanyi).

Kami bersepeda ke jalan raya. Wuih rame bukan main. Ada penjual burung, lukisan, pecel, boneka shaun the sheep, kelinci, hamster, anak ayam warna-warni, ada juga ibu-ibu montok asyik senam, abg labil lari pagi tapi jalan kaki, keluarga bahagia yang muter-muter cari sarapan, plus bapak-bapak yang bersepeda. Gibran merengek minta dibelikan kelinci, burung, ikan, anak ayam warna-warni (plis deh, tadi kan cuma minta naik sepeda doang)

Setelah lelah, kamipun pulang. Gibran menaruh sepeda roda empatnya, aku taruh sepeda downhillku yang hampir dua tahun aku abaikan. Aku buka Kompas Minggu yang aku beli tadi di abang-abang Koran, Panji Koming, Mice Cartoon, Sukribo, Timun, pokoknya pojok kartun yang pertama aku lihat. Kemudian baru rubrik griya atau apa gitu, pokoknya tentang rumah para pesohor atau orang-orang penting negeri ini.

Gibran main balok, aku lanjutkan membaca novel kartun (menurut penulisnya) ‘Diary Bocah Tengil” karangan Jeff Kinney, aku sudah baca buku pertama, dan kelimanya, ini yang keempat, yang kedua dan ketiga belum punya. Kalian harus baca deh. Berisi ketololan dan kesialan seorang bocah SMP yang polos, pengen dewasa, tapi masih terlalu nurut. Penuturan yang mengalir, lancar, kocak dan menggergaji. Anakku masih main balok. Dia bikin transformer. Aku masih baca. Anakku masih main balok (plis deh, kan udah ditulis, gak cape apa ngetiknya?)

Istriku di dapur. Aku rekues kopi. Gibran tak mau kalah. Tadinya dia pengin kopi juga, tapi akhirnya dia rekues teh manis. Pesanan dating, kopi, tahu bullet, ubu goring, menjadi sarapan yang cukup menggergaji. Kemudian kami bertiga teriak buncisssssss!!! Sambil pose imut. Sayang gak ada yang memfoto.

Setelah keringat perlahan kering, aku dan Gibran mandi lagi. Karena kami harus segera dating ke acara pernikahan salah satu guru Laskar Semut. Tapi sebelumnya aku ke rumah mertua untuk mengambil beberapa eksemplar majalah Concept. Pas mau berangkat kondangan, hujan turun deras banget. Yaudah deh kita menunggu. Sesampai di tempat hajatan, hujan turun lagi. Kami menikmati hidangan dengan ditemani petir dan hujan yang menggelegar (lebay banget deh)

Sesi poto-poto bersama mempelai tiba. Wah jadi aneh, yang lain ibu-ibu cantik. cuma aku yang bapak-bapak narsis. Yaudah deh. Sepanjang sesi poto (plis deh, kan cuma dua jepretan) mulutku gatal ingin teriak buncissss… tanganku gwuatel pengen mengacung metal atau piss, tapi aku sadar ini dimana. Ya udah, cuma Gibran yang teriak buncisss. Kamipun pulang, masih ada kondangan satu lagi.

Tempat pesta yang ini adanya di pinggir danau. Maunya sih keren, tapi danaunya sudah sudah gak keren lagi. Ditambah hiburannya dangdut. Kalian tahu lagunya apa? Anda benar. Alamat palsunya Ayu Tingting membahana. Disini gak ada acara poto-poto. Buncis? Nanti dulu deh.

Karena Gibran sudah kelihatan mengantuk, kami pulang. Minum susu, kemudian tidur siang. Sehabis Dzuhur, aku juga tidur siang. Masih ada dua agenda lagi. Pertama, mau nengok Bu Pyta, mamanya Nandif. Lagi kurang sehat katanya. Terus sorenya diundang pengajian . Mantan wali murid istriku pindah rumah.

Tapiiii, hujan turun lagi. Gibran masih tidur. Acara nengokin mama Nandif gagal. Pengajian, gagal juga.

Akhirnya maghrib tiba. Hujan masih rintik-rintik. Kami makan malam sehabis maghrib. Rencana mau gambar. Tapi kemudian hujan benar-benar berhenti.

Demi mendengar hujan berhenti, Gibran pengen naik sepeda lagi. Ya udah, akhirnya aku kembali naik sepeda keliling komplek. Mengantar Gibrann nyamperin (bahasa Indonesianya apa ya) temen-temennya. Sambil mengabsen satu-satu. Arif, Azzam, Billy, Alex, Sechan, Key-key. Tapi dingin-dingin begini siapa yang mau keluar main sepeda malam-malam?

Aku beritahu, kalau kalian tinggal di Citra raya dan melihat bapak-bapak labil naik sepeda beriringan dengan seoarang anak kecil yang mengayuh sepedanya kuwenceng banget, itu pasti aku.

Oke, sekian dulu catetan garing nan gak jelas ini. Selamat menempuh hidup baru buat mbak Atik Sunarti dan mas Choirul, dan buat bu Pyta, cepet sembuh ya…

Senin, November 14, 2011

Aku, Hitler dan Narsisme



Setelah aku mencapai umur yang cukup untuk disebut tua kemarin, aku kembali menemukan sebuah kemungkinan yang selama ini “bukan aku banget”.

Oke, mungkin nanti kalau aku menjadi seseorang yang “penting”, aku akan membentuk sebuah kementerian atau apa gitu untuk mendukung sesuatu yang “bukan aku banget” tadi.

Sebenarnya ini adalah gejala umum yang dimiliki hampir semua orang yang mempunyai akun di jejaring sosial. Entah itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Tak peduli apakah dia Bapak-bapak gendut, ABG labil, atau ibu-ibu cantik, Ia adalah sesuatu yang kita sebut sebagai narsisme.

Aku terlahir sebagai Photoshopgenic. Catet, bukan fotogenik. Artinya fotoku akan kelihatan bagus jika ada sedikit utak-atik di program photoshop. Makanya aku jarang sekali memajang fotoku di semua akun jejaring sosial yang aku punya.

Pertama aku sudah menandatangani kontrak juataan dollar dengan sebuah tabloid. Hanya kepada mereka aku boleh mempublikasikan foto-fotoku ( :D, aku bohong lagi kan?)

Kedua, Roy Suryo pasti tidak akan tinggal diam melihat fotoku mejeng di dunia maya. Dengan kapasitasnya sebagai pakar telematika, dia pasti dengan gegap gempita akan menganalisa fotoku dari berbagai sudut pandang. Resolusinya-lah, cahayanya-lah, kapan diambil, di mana, ke mana, dimana (Roy Suryo berubah jadi Ayu ting-ting). Belum lagi kalau tiba-tiba infotainment mengejar-ngejar aku? Bisa-bisa profesiku sebagai superhero akan bocor dan diketahui publik. :D

Ngomong-ngomong soal narsisme dan “kementerian” yang akan aku bikin kelak, sebenarnya hal ini sudah pernah menimpa Hitler, maksudku Hitler, ya Hitler, bukan sodaranya. Si kumis Jojon ini, mempunyai sebuah kementerian yang diberi nama Reichsministerium fur Volksaufklarung und Propaganda atau Propaganda Ministerium, Kementerian Propaganda, yang dibentuk pada 13 Maret 1933 dengan menterinya DR Josef Goebbels.

Goebbels bertanggung jawab terhadap pencitraan partai Nazi. Atau dengan kata lain, dia harus bertanggung jawab terhadap kenarsisan sang bos.Di bawah kepemimpinannya, Ideologi Nazi menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh ketika itu. Koran, poster, radio, dan berbagai karya seni menjadi ajang propaganda yang yahud. Bahkan film propaganda yang mendokumentasikan kongres Partai Nazi di Nurenberg yang diberi judul Triumph of Will dan disutradarai oleh Berta Helene Amalie Riefenstahl, menjadi salah satu film propaganda terbaik sampai saat ini.

Bicara pencitraan, rasanya bukan hanya Hitler dan aku saja. Setiap manusia selalu ingin dianggap hebat di depan pasangan, bos, tetangga, teman-teman atau bahkan rakyatnya. Banyak cara untuk bisa aku gunakan sebagai bentuk pencitraan diriku yang keren, ganteng dan memesona. Tapi yang jelas bukan dengan bernyanyi atau membuat album. Pertama, aku tidak bisa main gitar, kedua suaraku benar-benar menggergaji (dalam arti harfiahnya) : grok, grok, srek, srek. Ya, suaraku serak-serak beychek gak ada oyjek gitu deh. Boro-boro laku kasetnya, tidak dimassa orang sekampung saja sudah harus disyukuri sungguh-sungguh.

Kita mungkin mengutuk fasisme dan rasisme, tapi kita memuja Narsisme . Barangkali sudah saatnya muncul saingan National Geographic, yaitu majalah National Nartistic. Ada yang berminat nampang di sampulnya?

Rabu, November 09, 2011

Pinsil tempur, selamat ulang tahun ya...


“Tidak ada kematian yang mendadak, elmaut sudah menyebarkan intelnya bertahun sebelum ia sendiri datang. Seperti anggota CIA dan secret service mengobok-obok Jakarta tiga bulan sebelum Obama mampir makan bakso di Istana merdeka” (Tempur Supinsil)

Bulan sudah jadi November ya? Bertahun lalu, aku dilahirkan pas di bulan November. Bulan yang sering kali diwarnai hujan. Hujan yang manis, seksi, melankoli, dan menggairahkan.

Aku dilahirkan setelah ngumpet di rahim ibuku selama sembilan bulan ( ketika anak lain umur sembilan bulan sudah bisa jalan, sudah bisa ngomong, aku baru lahir) Aku kemudian berteori, lelaki yang ditakdirkan Allah lahir di bulan ini, akan menjadi lelaki melankolis, dingin, dan penuh gairah.

Aku selalu merasa galau ketika bulan November datang. Betapa banyak waktu yang sudah Allah sediakan, menguap sia-sia. Menyisakan penyesalan selama sebulan ini, kemudian berulang begitu sejak beberapa tahun lalu. November bagiku adalah bulan pengumuman dari semua hasil kerja, hasil olah pikir, akhlak, sikap, sifat dan perbuatanku sebagai seorang manusia, seorang anak dan sekarang sebagai suami dan orang tua.

Aku semakin tua, kantung mata dengan bangganya bertengger di bawah kedua bola mataku yang indah, gurat-gurat keriput bermunculan di sana-sini. Uban semakin berlomba tumbuh di kepala. Intel-intel malaikat maut sudah bertebaran di setiap penjuru, mengalir ke setiap pembuluh darah. Menunggu komando untuk menyerang, melumpuhkan dan membuatku terbujur kaku, membiru dan menimbulkan bau.

Aku semakin ganteng (rrrr… ada yang gak suka). Maksudku, aku semakin jauh dari seharusnya seseorang menjadi dirinya. Seumuranku seharusnya sudah mempunyai rumah, mobil dan usaha yang mapan. Tapi aku? Hanya karyawan kecil yang bekerja eijtufaif. Yang akan lompat-lompat salto kalau hari jum’at tiba. Yang gajinya minimalis, banyak utang dan sering bolos. Ibadahnya bolong-bolong, tukang bohong, dan otak yang kosong melompong. (mau jadi apa emangya?)

Apakah yang terjadi sekarang adalah buah yang pernah aku tanam bertahun-tahun lalu? Dimana aku menitipkan mimpi pada Allah, tetapi aku bersungut pesimis ketika sebuah ujian kecil menghampiri? Apakah waktu itu aku menitipkan mimpiku kurang sungguh-sungguh? Atau sebenarnya sungguh-sungguh tetapi ketika aku mengambilnya kembali terlalu bermalas-malas?

Aku adalah sebuah produk pendidikan yang gagal. Terlalu banyak yang aku pelajari tetapi tak ada bekas sedikitpun hari ini. Terbata-bata, bingung mau jadi apa kelak, walaupun dulu pernah pingin sekali jadi seniman kaya, tapi kini Cuma jadi hanuman obong.

Suatu hari di tahun ini, aku pernah hampir game over, ketika aku terbangun di suatu pagi tiba-tiba dada kiriku terasa sakit yang amat sangat. Dibawa bergerak atau sekedar bernafaspun sakitnya bukan main. Kata dokter, jantungku bermasalah. Deg. Aku membayangkan kalo orang sakit jantung, jalan satu-satunya adalah operasi. Uang dari mana?. Untuk memastikan, aku menjalani serangkaian pemeriksaan yang menurutku hanya pantas untuk orang-orang kaya. Orang miskin sepertiku, jauh-jauh deh dari proses tetek bengek brengsek semacam itu. Stt…. Hanya satu sisi positif dari proses tadi. Dokternya cantik banget.

Setelah hasil pemeriksaan muncul, aku sedikit lega. Jantungku baik-baik saja. Rasa sakit hebat yang timbul adalah karena darahku mengalami pembekuan tiga kali lebih cepat daripada orang kebanyakan. Aku mengalami metabolisme lebih cepat dari pada orang-orang. Suhu tubuhku lebih panas daripada orang lain, walaupun aku dalam kondisi sehat wal afiat. Kalau aku berkonsentrasi, telapak tanganku bisa mengeluarkan api seperti Pangeran Zuko dari Kerajaan Api atau Ultraman waktu mengalahkan monster yang mengobrak-abrik kota Tokyo (yang ini bohong deng J)

Tapi rasa sakit itu tetap ada. Hingga suatu malam aku rasa malaikat maut sudah siap menjemputku. Badan panas, dada semakin sakit. Aku sudah siap waktu itu. Setidaknya aku bahagia, karena kalau malam itu aku jadi mati, berarti aku mati dipelukan istriku. Bukan mati merana di kamar kos sendirian.

Alhamdulillah, setelah aku menjalani proses bekam berulang kali ,Allah masih memberi kesempatan padaku untuk berbuat lebih baik daripada kemarin-kemarin. Memberi waktu untuk galau, untuk terus diuji dengan tipuan-tipuan dunia, apakah aku akan menang atau akan mati jadi pecundang. Naudzubillah.

Allah masih memberiku kesempatan untuk menyebarkan semangat positif. Karena hanya semangat yang aku punya.

Entahlah, yang jelas, sebentar lagi aku ulang tahun. Kalau mau memberikan hadiah ke aku, berilah hadiah buku. Itu saja….

Rabu, November 02, 2011

Hari-hariku yang bahagia



sudah malem, saatnya memberantas kejahatan :P



setelah bercape-cape seharian, kami makan ubi goreng sambil ngopi, satu gelas bertiga
*anakku ngopi juga lho....



ekspresif banget ya anak guwe, ini pas abis coret-coret dinding



orang-orang tercinta



wuih ada bang rhoma-nya juga...



asik gambar-gambar, padahal dinding kamar lho....



buku-buku keren...



anak ngambek pengen muter-muter naik sepeda



istri sibuk masak


Sok serius, padahal pesbukan