Senin, Februari 27, 2012

Edisi Potong Rambut

Sekitar dua minggu yang lalu guwe potong rambut. Yeah lalu apa istimewanya ini kamu ceritakan? Sebegitu hebatkah dirimu? Sehingga perlu menceritakan tentang potong rambutmu itu? Demikian kata setan burik yang menghalangiku untuk kembali curhat di blog ini.

Potong rambut adalah sebuah ritual sesat dan teror. Itulah kenapa, balita yang dipotong rambutnya selalu meraung-raung seperti ambulan ketemu macet atau mobil pemadam kebakaran terhalang masuk lokasi karena penduduk sekitar pengen kesyut sama wartawan tivi. Selain itu, kadang-kadang diakhiri dengan adegan mematahkan leher seperti Rambo atau film-film kungfu tahun 70’an, yang sesudah adegan itu, biasanya kamera zoom out, memperlihatkan begundal-begundal bayaran tergeletak tumbang atau adegan ditempeli pisau tajam di leher dan tengkuk. Guwe selalu khawatir, pas adegan tempele-tempel pisau itu, si tukang cukur meleng karena ada Titi Kamal lewat atau tiba-tiba Tina Talisa mengadakan liputan di sekitar kios cukur ituh. Wuih bisa-bisa gue tumbang dengan mengenaskan. Tapi Alhmadulillah sampai detik ini leher guwe masih aman sentosa menyangga kepala beserta isinya.

Guwe potong rambut sebenarnya gak niat-niat amat. Waktu itu malem sudah larut, seperti gula, setelah memesan nasi goreng untuk tukang plat yang datang ke kantor nganter plat buku baru yang akan segera dicetak, guwe lihat kios cukur itu masih buka. Ya sudah guwe masuk.

Ruangan itu berukuran sekitar empat kali tiga meter. Dekornya standartempat tukang cukur seluruh Indonesia. Tiga buah cermin segede gaban, dan poster potongan rambut yang guwe rasa ada sejak jaman Ikang Fawzi masih laku nyanyi. Poster itu berisi sekitar dua puluh model potongan rambut yang kalo seluruh konsumen yang dateng dipotongin model ituh, dunia serasa berhenti di tahun 86-87 gitu.

“Potong model apa bang?” Tanya tukang cukur itu.

“Mohawk” kata guwe.

Guwe selalu meminta potongan model begitu sejak menikah. Dulu guwe suka gondrong nanggung model Jacky Chan waktu muda. Atau model-model pak polisi gitu. Model belah tengah? Guwe pernah memakainya sekali waktu SMP, dan guwe rasa itu model paling najis yang pernah guwe pakai. Kalo sekarang ada model alay, naudzubillah kalo guwe sampe ikut-ikutan. Guwe juga suka model dreadlock ato gimbal-gimbal penyanyi reggae. Soalnya tiap sholat Jum’at, ada anak muda rambutnya gimbal, bersih dan asik. Guwe kepengen banget ngegimbalin rambut guwe. Ada yang tahu jasa ngegimbalin rambut yang murah meriah?

Karena jidat guwe model huruf M, model Dedi Corbuzer gitu, guwe rasa potongan yang pas adalah potongan Mohawk, tipis di kiri kanan, dan menjulang di tengah. Tapi guwe sukanya gak terlalu ekstrim gitu yang sampai di cat atau di lem biar berdiri saentosa. Guwe gak berani sesadis ituh. Guwe suka yang bisa diajak apa saja. Di jabrikin okeh, atau di belah pinggir macam jenderal-jenderal orde baru monggo.

Wuing...wuing, zrrrrrrr...rrrrrr, srik...srik... gunting listrik kemudian sukses menumbangkan rambut sebelah kiri. Sebelah kanan, belakang. Bagian poni, sambil gue disuruh nunduk, tengadah, nengok kiri, nengok kanan. Srak-srak...srak.. lalu taraaaaaaaaaaa, aku jadi ganteng. Gak ding, gak ada yang berubah. Kalo ganteng, guwe udah dari sononya. Guwe Cuma keliatan lebih rapi. Tiba-tiba abangnya nanya :

“Bang dipijit gak?

“Boleh deh” kata guwe. Sampe di sini guwe nanya dalam hati, siapa sih yang jadi abang? Situ apa guwe?

Akhirnya guwe bener di pijit. Kepala tengkuk, pelipis, dahi pipi, atas hidung, semua berhasil dijamah sama jari-jari abangnya yang berasa kasar di kulit guwe. Tibalah adegan Jacky Chan palsu matahin leher musuh, krak! Sebelah kiri, krak! Sebelah kanan. Guwe gak mati!

Akhirnya,

“berapa bang?”

“Sembilan rebu” kata abang tukang cukurnya

Guwe keluarin duit sepuh ribuan, sambil mengulurkan tangan ke abangnya, guwe bilang gini :

“Ambil ajah kembaliannyah”

Pada detik ini guwe ngerasa keren banget. Guwe udah ngelakuin adegan di sinetron-sinetronnya Ram Punjabi dengan mengatakan sebuah dialog yang selalu terjadi di restoran-restoran mahal... ambil aja kembalianyah

Guwe pulang, mandi, malam semakin larut, makin manis, dan guwe yakin istri guwe akan suka!

Jumat, Februari 17, 2012

Akulah pemegang hak cipta 'menyebalkan'


Akhirnya jurnal ini kembali terisi setelah lama kosong. Bukannya apa, tapi karena penyakit sok sibuk yang menggelora.

Bulan-bulan ini rasanya begitu menggergaji. Bermula dari rencana bosku yang mau menerbitkan buku umum—setelah hampir enam tahun kami menerbitkan buku-buku mewarnai, gunting tempel, mengenal abjad dan semacamnya untuk anak-anak.

Karena selama ini penerbit yang digunakan khusus untuk buku anak-anak, maka ketika menerbitkan buku umum, maka harus dibuat penerbit baru. Nama penerbit sudah ditemukan. Maka tugas pertamaku adalah mendesain logo. Aku membuat sesimpel mungkin dengan model logofont ambigram 180 derajat. Jadi logo tersebut kalau dilihat dari atas dan bawah, sama saja. Logo langsung disetujui. Entahlah kalo menurut para lulusan dekave atau semacamnya, tapi kurasa logo yang aku buat sudah mewakili karakter penerbit yang baru itu.

Urusan logo selesai, gilliran urusan sampul buku. Aku buat beberapa alternatif. Ada yg pakai gambar WPAP penulisnya, line art gambar penulisnya, ada juga yang diisi gambar yang mewakili isi buku. Hingga akhirnya penulis dan editornya memilih satu gambar yang sebenarnya aku sendiri kurang menyukainya. Tapi ya sudahlah, dari pada gak beres-beres.

Urusan logo dan cover beres, giliran urusan layout. Dan di sinilah masalah bermula. Harusnya aku sudah menguasai software khusus untuk melayout buku. Tapi sialnya pas di install, gagal melulu. Akhirnya terpaksa memakai coreldraw, walaupun akan sangat tidak menggergaji akhirnya. Dan sial yang kedua, kemampuanku di MS Word juga sangat payah,sehingga naskah yang sudah diutak-atik dua hari, malah berantakan di coreldraw.

Deadline sudah didepan pintu. Ya udah aku tendang saja dia. Gak ding. Bosku ngomel-ngomel. Sebel sama aku.

Ya sudah kita lupakan sejenak tentang tiga paragraph di atas, Alhamdulillah, walaupun sudah sampai bulan Pebruari, masih saja ada yang memesan kalender ke aku. Lumayanlah untuk tambahan beli komik J. Ada juga pesanan buku nota, kwitansi, dan spanduk. Sesuatu banget yah?

Oya, bulan januari kemarin aku ditawari novel grafis mas Nassirun Purwokartun. Gak usah bayar dulu, nanti aku kirim, gitu kata beliau. Benar saja, tujuh buah novel grafis keren sampai ke kantorku di suatu siang yang cukup menggergaji (baca : menggergaji, ya eyalah). Empat buah seri HANYUT karyanya Yoshihiro Tatsumi. Ya semacam otobiografinya beliau, cuma dalam kisah ini, namanya diganti menjadi Hiroshi Katsumi. Menceritakan tentang lika-liku perjalannanya dalam membuat manga. Hingga mencetuskan sebuah istilah gekiga, yang kemudian menjadi genre tersendiri dalam kaidah permangaan Jepang.

Selain itu, ada lagi trilogy A Contract With God-nya Will Eisner. Buku pertama, Kontrak dengan Tuhan,menceritakan tentang Frimme Hersh, lelaki Yahudi taat yang berjanji akan hidup lurus asal Tuhan akan selalu melimpakan kebahagiaan padanya. Hingga suatu hari ia menemukan seorang bayi perempuan yang diletakkan di depan pintu rumah susun yang dia sewa. Sayang setelah dipelihara sekian lama, anak perempuan inipun meninggal, hal inilah yang membuatnya murka pada Tuhan dan memutuskan kontraknya, hingga kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia kemudian menggadaikan sertifikat tanah sinagog tempat dia selam ini beribadah, untuk modal menjadi pemilik kontrakan dan rentenir.

Buku kedua berjudul Daya Hidup, menceritakan tentang masa depresi Amerika sekitar 1930an. Buku ketiganya, Jalan Raya Dropsie, menceritakan sebuah jalan selama hampir empat abad penuh dengan lika-likunya di Bronx, New York. Nama jalan itu, Jalan Raya Dropsie.

Yeah, walaupun ketujuh buku tersebut cukup menghianati dapur kami, tapi gak apa-apalah. Setelah dibaca, buku itu aku masukkan kantong plastik, takut diambil Gibran untuk diwarnai. Sttt.. ada beberapa adegan dewasa di situ.

Oya ngomong-ngomong disebelin bos, mungkin aku akan menjadi juaranya. Sejak kecil, aku sudah memiliki track record (bacanya begitu) yang cukup menggergaji untuk masalah “makhluk paling menyebalkan”. Apapun yang aku lakukan, dalam pandangan orang, menyebalkan. Kalau aku dan temanku melakukan kesalahan yang sama, aku yang kena marah. Kalau temanku yang melakukan kesalahan, aku yang kena marah. Bahkan pada saat diam pun orang sebal. Coba. Bukankah itu menyebalkan level menggergaji? Sampai kinipun, aku memang juaranya. Istriku, anakku, kadang-kadang juga sebel padaku.

Kurasa memang aku harus mendaftarkan diri ke Departemen hukum dan HAM untuk menjadi orang yang paling menyebalkan di muka bumi. Seharusnya aku memegang hak cipta ‘menyebalkan’. Jadi begini, kalau kalian suatu hari nanti menjadi orang menyebalkan, maka kalian harus membayar royalty ke aku. Semakin banyak orang menyeblakan, aku semakin kaya. Tak peduli siapapun dia. Bukankah itu keren?

Aku akan sangat kaya. Dan orang akan pikir-pikir untuk menjadi menyebalkan. Tapi kurasa, rencanaku akan batal. Sebab semua sudah dibajak para anggota DPR. Mereka sudah mencuri hakku untuk menjadi “menyebalkan dan banyak uang”.

Selain menyebalkan, aku juga akan mendaftarkan untuk kategori bodoh, gak nyambung, ganteng dan narsis.

Yeach.... mumumumu....

robot-robotan