Sabtu, Januari 22, 2011

Hitler Pernah Menjadi Khatib Shalat Ied

Bermula dari rekomendasi Haji Sukardi yang mengusulkan aku untuk menjadi khatib pada sholat Idul Fitri nanti. Gila apa? Orang macam aku jadi khatib. Dilihat dari sudut manapun, aku tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi khatib. Bukan apa-apa,kelakuanku tidak pantas untuk dijadikan contoh bagi umat.

Tapi Haji Sukardi bersikeras. Kata beliau aku terlalu banyak omong. Biar tahu rasa katanya. Jama’ah akhirnya maklum. Dengan berat hati, aku mulai mencari bahan. Kuhapal beberapa ayat, cukup itu saja. Aku tidak meniru gaya siapapun. Gaya yang aku pakai nanti ya gayaku sendiri.

Pada saatnya tiba, aku berhasil melakukannya dengan sempurna. Setidaknya menurutku. Meskipun grogi setengah mati.

Setelah acara sholat selesai, jamaah pun pulang sambil bersalam-salaman. Aku juga begitu. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengikutiku. Seorang lelaki tua yang bermata tajam. Aku tak mengenalnya. Bahkan melihatnyapun belum pernah. . Mengikuti sampai ke rumahku.

“Anakku,” katanya padaku. “ Aku melihat Hitler di sana. Ya, di mimbar khotbahmu itu. Aku melihat seolah Joseph Goebbels masih hidup dan mempersiapkan penampilanmu. Kau tadi begitu menjadi pusat perhatian. Dan kami seakan menjadi pasukan SS NAZI yang siap kau perintah menggulung Eropa. Kau tahu Anakku?, Aku benar-benar melihat jiwa Hitler dalam dirimu”. Aku hanya diam.

“Kau suka menggambar?” Aku hanya mengangguk.

“ Kau kepingin jadi seniman?” Aku pun kembali mengangguk.

“ Kau lemah dan penyakitan dan mengalami penolakan-penolakan?” Aku terdiam.

“ Itu semua ada pada diri Hitler muda, kurasa kau juga pendendam, penuh curiga dan sakit jiwa”. Aku semakin tak paham pada ocehan kakek tua ini. Rupanya kakek ini manusia sisa perang yang sedikit melek sejarah, atau menurutku, dia pasti penggemar novel-novel perang.

“ Walaupun orasimu menngetarkan, aku tak menyebutmu mirip Sukarno. Dia terlalu flamboyan, sedangkan kamu? Payah. Hanya Hitler perumpamaan yang tepat untukmu. Ya, hanya dia.” Katanya berapi-api.

“ Anakku, kau punya bakat memprovokasi, menggerakan masa, juga pembunuh kejam dan psikopat. Kau sakit jiwa. Kalau kau tidak menemukan pegangan yang tepat, kau berbahaya bagi dunia. Kalau kau tidak memegang aqidah yang kau yakini, kalau kau tak mempunyai Tuhan, sejarah akan berulang.” Ia terus mengoceh sementara sku semakin tak paham.

Akhirnya aku angkat bicara, “ Kakek, kakek belum makan? Kita makan dulu ya, kek.” Bukan apa-apa, ketupat lebaran dan opor ayam seakan meledekku dari tadi.

“ Itu yang aku tunggu dari tadi , Anakku”. Ia mulai menurunkan nada bicaranya.

Aku yang sedari tadi menahan lapar, akhirnya melahap ketupat lebaran dan opor ayam buatan ibuku dengan rakus. Si kakek tua tadi juga terlihat begitu menikmati menu yang sama sepertiku.

“ Kau tahu anakku, Hitler…..” katanya mulai bicara lagi.

“ Maaf kakek, simpan dulu Hitler-mu itu, kita nikmati saja ketupat ini.” Aku terpaksa memotong pembicaraannya.

Setelah kami selesai makan, si kakek kembali bercerita tentang Hitler, Sekutu,Perang Dunia kedua dan tetek bengek sejarah yang membuat aku pusing.

Tidak ada komentar: