Kamis, Januari 05, 2012

Alvin Ho dan Farah Quinn yang mumumumumu…




Seandainya saja tidak ada sekolah, aku pasti tidak akan punya masalah. Aku akan menggali lubang setiap hari. Aku akan bermain lempar-tangkap bola dengan GungGung.

Aku akan menonton acara memasak. Aku akan mengamati berbagai hal. Semuanya pasti fantastis!

Kalimat diatas aku kutip dari novel berjudul Alvin Ho. Di tulis oleh Lenore Look dan di beri ilustrasi oleh LeUyen Pham .

Novel itu aku beli kira-kira bulan puasa sebelum puasa kemarin. Disitu diceritakan tentang seorang anak yang alergi pada sekolah.

Tapi aku gak akan cerita tentang novel itu. Aku hanya ingin menarik dua hal dari kalimat paragraph pertama di atas.

Pertama tentang sekolah, betapa sekolah sudah menjadi sedemikian horor bagi anak-anak. Disuguhi materi yang buwanyak. Disuruh bawa buku buwanyak . PR buwanyak Disuruh menghapal buwanyak. Bayarnya juga buwanyak.

Disamping horor-- dalam bagian ini, kupikir level film Suzana gak ada apa-apanya. Sekolah juga sudah menjadi seperti pabrik. Disana para murid dikondisikan untuk menjadi seperti maunya guru. Dan Ide konyol yang dinamakan kurikulum. Nanti lulusannya juga seperti itu. Yang tidak sesuai dengan standar sekolah dan guru-guru, di reject. Terus dianggap bodoh. Terus dicap idiot. Terus dicap lemah otak. Dan sebagainya-dan sebagainya. Dalam posisi ini, aku bertanya apakah orang-orang yang menyusun aturan konyol yang mereka sebut kurikulum atau siapapun saja yang punya kewenangan didalam kementerian pendidikan berpikir bahwa setiap anak adalah berbeda? Bahwa berbeda pula cara penanganannya? Anak-anak bukan potongan besi, karet, atau apapun saja yang kalau dibentuk dengan prosedur, aturan, komposisi dan ukuran yang sama akan menjadi barang yang sama?

Oke, sampai pada paragraph di atas masihkah kalian menitipkan anaknya ke sekolah-sekolah yang menjajah kreatifitasnya? Masihkah kalian mengharapkan anak kalian mendapat rangking satu dikelasnya?

Kalau hari ini masih ada guru yang memberi peringkat satu, dua, tiga, atau seterusnya, kupikir sudah saatnya ijazahnya perlu diraba dan diterawang, jangan-jangan palsu, atau segera ke laut. Kenapa? Karena dengan kapasitasnya itu, dia hanya bisa menghasilkan satu, dua atau tiga anak pintar dikelasnya. Dan sisanya mendapat stempel ‘bodoh ‘ di jidat mereka. Kupikir ini sebuah tragedi nasional.

Kedua, acara memasak. Inilah acara paling mumumumumumu… yang pernah ditayangkan di televisi. Daripada sinetron yang jelas-jelas tanpa patron atau berita yang isinya seolah-olah di skenariokan beritanya.

Aku pernah curiga kalau tiap tiga bulan sekali petinggi televisi berkumpul untuk membicarakan isu yang bisa dijual tiga bulan ke depan. Kemudian disimpulkan berita bulan ini kasus ini, bulan depan ini, bulan depannya lagi itu. Infotainmen juga seperti itu.

Tapi kalau acara memasak, ada segudang menu yang bisa ditampilkan. Karena Indonesia, surganya kuliner endang bambang gulindang, maknyus dan top markotop.

Kata-kata tadi sering diucapkan oleh bapak Bondan Winarno, seorang lelaki yang mempunyai pekerjaan paling keren sedunia. Memprovokasi umat untuk mencoba makanan yang beliau makan ditelevisi. Apapun yang dimakan, entah itu nasi jagung, jus mengkudu, atau bahkan makanan eropa, beliau bisa mendekripsikan rasanya sedemikian rupa sehingga kita terprovokasi untuk mencobanya.

Selain pak Bondan, kita juga mengenal Bara Pattiradjawane, William Wongso, Ibu Sisca Suwitomo, yang bertahun-tahun mengasuh acara memasak di Indosiar, Rudi Choirudin, dan beberapa lagi yang tidak aku ingat. Serta satu lagi yang paling fresh, Farah Quinn.

Tapi aku rasa kalau aku ngomongin Farah Quinn, kalian pasti menuduhku tidak adil. Karena dari nama-nama chef dan presenter acara memasak yang saya sebutkan tadi, Farah Quinnlah yang paling unyu.

Kalau pak Bondan bilang maknyus untuk menyebutkan betapa menggergajinya masakan itu dilidahnya, Farah Quinn akan bilang yummy. Farah Quinn mempunyai satu acara di Trans TV yaitu Ala Chef. Dimana dia akan berkeliling Indonesia untuk memadukan resep Eropa dengan resep lokal. Memasak di alam terbuka (catet : alam terbuka! Bukan baju terbuka. Jangan ngeres deh!) ditemani penduduk setempat, kemudian dimakan rame-rame menu yang dimasak tadi. Rasanya? Tanyalah penduduk yang pernah diajak makan Farah Quinn.

Oke, aku selalu ingin banyak libur untuk menonton acara memasak. Siapapun presenternya.

Dear diary, ehm..

Aku menyebut tulisan ini jurnal. Bukan diaryl. Karena kalau diary, pasti akan ada bunga-bunga merah muda dan ada kolase poster personil s**sh di sana sini. Dan aku yakin mata kalian akan diare kalo aku menulis diary pink. Tapi ya sudahlah, kalopun postingan kali ini gak ada manfaatnya buat kalian, setidaknya ada manfaat untuk mulai mengisi blogku di awal tahun ini.

Tempur Supinsil,

Lelaki bodoh penggemar Farah Quinn, ups, acara memasak!

2 komentar:

megamendungkelabu mengatakan...

hahahaha
aku bisa bayangin gimana adegan om punsil kalo menulis "diary pink"

pinsiltempur mengatakan...

pasti dengan bulu mata panjang dan pipi merah meroda, ga brenti kedip-kedip... cihuy.. yuuuuuuuuuuk