Selasa, September 20, 2011

Pensil itu sesuatu banget…



Belum lama ini aku membaca majalah komik, Comical Magz. Di situ ada sebuah note yang mengatakan bahwa sebuah pensil bisa menggoreskan garis sepanjang 56 KM. Itu sama dengan jarak dari Jakarta – Bogor. Keren kan?

Yang aku omongin kali ini memang pensil. Alat tulis yang dibuat dari grafit yang dibungkus dengan kayu. Bukan Tempur Supinsil yang super duper keren itu. Tapi mari kita sama-sama mengakui bahwa kedua-duanya memang keren.

Aku mengenal pinsil mulai di TK, tapi karena di TK jarang menulis dan menggambar, aku benar-benar menggeluti pensil waktu kelas satu SD. Temanku, namanya Dirin, yang pertama menghadiahi aku sebatang pinsil yang tinggal separo. Pendek sekali. Itupun sudah diraut atas bawah. Aku senang bukan main. Aku menyukai pensil itu lebih dari pensil baru yang ibuku belikan.

Sampai kelas tiga, aku masih suka menggunakan pensil. Tapi setelah kelas empat sampai SMA aku jarang sekali menggunakannya. Maklum, budaya catatmania sudah menguasai dunia persilatan, mm… maksudku dunia pendidikan. Jadi pulpen sudah mulai digunakan. Gak seru kan? Di depan bu guru mendikte dengan kecepatan balapan formula satu, aku menulis menggunakan pensil dengan kecepatan keong. Pulpen yang jadi solusinya. Walaupun hasilnya lebih parah. Kali ini bukan keong tapi ceker ayam (pin, ngomongin apa sih?)

Untuk gambar menggambar, sekolah gak mengakomodir. Belajar cuma berkutat matematika, bahasa, dan IPA IPS. Bosen banget gak sih? Pelampiasannya ya memakai arang bekas kayu bakar. Bikin graffiti di papan rumah, tembok sekolah, bahkan tembok masjid. Pensil masih rutin digunakan waktu sekolah Arab (Madrasah Diniyah). Tiap sore. Biasanya sih digunakan untuk menulis khatt (menulis indah huruf arab). Disinilah aku pernah dikhianati pabrik pensil seperti yang pernah aku ceritakan di tulisan sebelum-sebelumnya.

Aku masih ingat sekali bau pensil yang berkhianat itu. Sore itu, sekolah hampir mulai, sedangkan aku tidak punya pensil. Akupun minta uang pada ibuku. Ternyata yang aku beli pensil kualitas abal-abal. Diraut patah, diraut lagi patah lagi. Begitu seterusnya sampai nyaris gak bersisa. Sialan banget tuh pabrik. Bikin pensil aja gak niat, apalagi bikin mobil (pin, kita ngomongin pabrik pensil! Ingat itu! Jangan bawa-bawa mobil, berat!). Kemudian aku seperti putus hubungan dengan pensil. Tapi aku masih ingat bau pensil pengkhianat itu. (iya, iya)

Bertahun kemudian, aku bekerja di percetakan. Jadi operator mesin. Jadi sambil menunggui hasil cetakan, aku biasanya corat-coret dengan pensil di kertas bekas yang jelas-jelas melimpah. Pada saat itulah Allah meniupkan ilham di kepalaku. Membisikan sebuah nama yang sangat memesona : PINSIL TEMPUR!

Tak perlu lagi kujelaskan apa arti dan filosofinya. Yang jelas, aku berharap dengan modal pensil, aku bisa nempur beras. Bukan cuma itu, aku berharap bisa berbuat sesuatu bagi hajat hidup orang banyak.

Pokoknya, Pensil itu sesuatu banget…

Tidak ada komentar: