Kamis, Desember 11, 2014

Migu dan Sigro



Kurasa aku harus memulai cerita ini dengan menjelaskan bahwa tulisan ini diketik tanpa menggunakan jari kelingking. Beneran. Bahkan aku belum lama lepas dari usaha mencari dimana tuts berada. Huruf x dimana, c dimana. Jadi kalau kamu menemukan beberapa kesalahan ketik, wajar.

Aku tiap hari berangat kerja naik angin. Yang dibungkus karet, warna hitam. Namanya ban. Menempel di sepeda motor. Intinya, aku naik sepeda motor. Gitu. Tapi tiap hari Jum’at, aku naik angin yang menempel di sepeda. Ih, berasa jadi avatar deh naik angin.

Sepeda itu sudah menemani sejak 2008. Berapa tahun ya?  Bentar, dua ribu empat belas dikurangi duaribu delapan, enam, iya sudah enam tahun menamani aku. Gak gitu juga sih, beberapa tahun sempat aku abaikan gegara sering pindah-pindah.

Itu sepeda hadiah dari istri waktu kami benar-benar susah. Dibeli dengan cara dikredit. Dengan cara susah payah. Pengen deh saya tempeli sticker dengan tulisan ‘Inget jaman susah, mas’ dengan lem yang kuat. Yang cuma bisa lepas seminggu sebelum kiamat. Tapi nanti malah norak. Gak jadi deh.

Jum’at pagi aku berangkat naik sepeda.  Aku kebut dengan  kecepatan yang lumayan. Sampai dengkulku berasap. Becanda deng. Gak gitu-gitu amat sih, tapi dengkul rasanya kek kebakar.
Sampai di pabrik terus senam. Senam dengan musik dangdut yang di ajeb-ajebin. Dipimpin oleh ibu-ibu yang pengen disebut seksi. Padahal gak bagiku. Terus bekerja seperti biasa. Terus sholat jum’at yang ngantuk. Terus sorenya  pulang.

Bersepeda bagiku hanya sebagai usaha untuk mendisiplinkan diri dalam berolahraga. Aku gampang bosan. Gak konsisten. Aku gak mau jadi hilang keseksian gegara perut buncit. Aku rela full uban kek Hatta Rajasa,asal perut gak buncit. Pengen sih tiap hari bersepeda, tapi capek. Lagi pula produksi keringatku bener-bener surplus. Kaos basah melulu. Pokoknya aku pengen sehat sampai tua. Sampai mati.

Sepedaku namanya Sigro. Artinya cepat. Sedangkan sepeda motorku namanya Migu. Asal kata dari migunani. Artinya berguna.

Dengan Sigro aku kek teman deket. Dia baik, sopan, pendiam. Yaeyalah. Dengan Migu mungkin aku lebih sering berinteraksi sehingga lebih banyak pengalaman bersama. Pernah ngebut, jatuh, mogok, nabrak, mendorong gegara habis bensin, dengan ransel berisi sepuluh liter jus. Bulan puasa lagi.

Seperti pada waktu itu, hari sudah sore. Sebentar lagi maghrib. Aku ngebut naik Migu. Tiba-tiba dari balik tembok melompat seekor anak sapi. Aku reflek mengerem sekuat tenaga. Migu oleng. Jantung berdetak gak karuan. Dari mulutku reflek keluar makian America State of United kepada sapi itu. Sapinya cuek. Sebel ih. 
Gak tahunya itu sapi Sunda. Aku teriaknya pake bahasa Jawa.

Perlu aku luruskan. Itu bukan makian. Itu adalah sebuah bentuk sopan santun ke sapi. Sapi yang salah, tapi anjing yang jadi kambing hitam. Tunggu, kalau anjing jadi kambing hitam, nanti malah jadi halal dipotong. Bingung ih. Maksudku siapapun yang salah, anjing yang disalahkan. Seperti pada waktu ada orang naik motor digeber-geber dengan knalpot modifikasi, yang aku salahkan tetap anjing. Gak sopan sih, tapi namanya juga reflek. Pokoknya don trey dis et hom deh.

Bagiku dua-duanya keren kek kamu dan aku. Mewarnai episode hidupku saat ini. Entahlah mungkin Migu atau Sigro masih ada sampai dua hari sebelum kiamat. Atau mereka duluan pergi sebelum aku mati. Itu akan membuatku mengenangnya. Mungkin nanti aku punya mobil, punya helicopter, jet pribadi, atau kapal pesiar. 

Tapi Migu dan Sigro adalah soal lain. Kata Sujiwo Tedjo, mudah untuk pindah kos-kosan, tapi susah untuk menghapus kenangannya.

Atau mungkin sebenarnya mereka transformer. Yang bisa berubah jadi robot cerdas. Terus baca tulisan ini. Paling tidak mereka tahu bahwa aku bilang mereka keren. Mereka pasti senyum bangga. Pengen terharu deh.

Sudahlah sudah malam. Harus tidur, biar ganteng. Dadah Migu, dadah Sigro.

Tidak ada komentar: