Senin, November 10, 2014

Menunggu November Rain


Hari sudah sore, Tangerang sebentar lagi hujan. Sudah beberapa bulan ini, aku gak pernah ngerasain hujan turun sore-sore gini. Hujan senja yang selalu aku terjemahin sebagai melankoli ini, adalah suasana yang paling kurindukan setelah ibu.

Aku sedang menunggu SMS dari seseorang yang sebenarnya tidak perlu aku tunggu. Tapi entah kenapa aku jadi aneh ketika SMS itu gak kunjung mampir di hapeku. Aneh memang, padahal SMS itu terkadang cuma sekedar huruf Y, yang berarti ya, atau oke. Tapi hatiku senang. Aku kadang perlu memancingnya dengan pura-pura nanya sesuatu yang sebenarnya aku gak pengen tahu. Kemudian dijawab. Jawaban itulah yang kadang aku tunggu-tunggu.

Ada episode yang menurutku sangat menggergaji dibulan-bulan belakangan ini. Aku mulai latihan menyetir. Program dari pabrik tempatku bekerja. Aku bekerja di pabrik jus, itu sudah kuceritakan dulu. Sebuah aktifitas yang osem. Berlatih mengendalikan kotak besi seberat paling tidak 2000 kilogram berjalan sesuai aturan. Aku yang payah dalam konsep ruang dan koordinasi antara tangan, kaki dan otak yang lumayan mengkhawatirkan, menemui beberapa masalah dalam belajar. Perintah antara injek kopling, masukin gigi, angkat kopling, injek gas, bagiku seperti horror. Ketuker-tuker. Jalan, mati. Jalan lagi, mati lagi. Maju mundur cantik, maju mundur gubrak. Roda belakang menginjak ember yang dibawa dari pabrik sebagi pembatas latihan parkir. Besoknya si Herman terpaksa mencoba membetulkan ember itu ke posisi seperti semula. Untungnya mentor menyetir ini orangnya sabar. Tidak seperti Nyonya Puff, berkali kali dirawat di rumah sakit gegara ngajarin Spongebob menyetir. Hanya saja, mungkin setelah melatihku, stok sabarnya anjlok mendekati strip merah. Sambil bunyi rilud, rilud. Kek di gem-gem gitu.

Sabar, kata pak Damardjati almarhum, itu tidak ada batasnya, demikian juga ikhlas. Tapi sepertinya beliau akan berkata lain kalau beliau melatihku menyetir. Sabar itu memang tidak ada batasnya, tapi perlu di rilud. Iya heu-euh. Perlu dibasuh, perlu dilatih dengan tekun. Perlu pengalaman bertahun-tahun.

Hari-hari belakangan ini aku juga sibuk. Sibuk pengaman. Sibuk santai kata Pidi Baiq. Menghabiskan waktu dengan bersenang-senang yang orang sebut sebagai ; bekerja. Belajar hal-hal baru yang betul-betul menghabiskan waktu. Sehingga frasa ‘gak kerasa ya, waktu cepet banget’ adalah sebuah pembelaan yang terlambat. ‘Gak kerasa’ sebenarnya penuh rasa. Rasa lelah, bosen, khawatir, harap-harap cemas, sayang, peduli dan semacamnya.

Mungkin aku terlalu sibuk menghabiskan waktu dan berpikir semuanya baik-baik saja. Sehingga lupa mengecek matahari telat apa gak? Malam terlalu panjangkah? Oh, itu tugas malaikat. Bukan-bukan itu, maksudku gini ; aku sering lupa pada tugas-tugasku sendiri. Kalo bahasanya praktisi MLM, aku masih terjebak zona nyaman. Perbaikan-perbaikan yang signifikan gak terlalu kelihatan progresnya. Anjreet bahasanya sok inggris amat seh. Sedangkan uban semakin banyak. Artinya, dalam beberapa hal, aku masih melakukan hal sia-sia. Seperti menyalakan lampu motor siang hari, pake kaos kaki setelah pake sepatu atau nonton film donlotan berulang-ulang.

Ngomong-ngomong soal uban, aku sebenarnya tidak terlalu merisaukannya. Ia adalah bagian dari perjalanan yang harus aku nikmati. Tapi entah kenapa, belakangan ini aku lebih menyukai potongan rambut plontos. Kek Andi Noya, kek Dedi Corbuzier. Persoalan belum selesai, untuk menjaga kondisi rambut seperti itu, biayanya tidak sedikit. Taruhlah sekali potong rambut antara sepuluh ribu sampai lima belas ribu rupiah, berapa biaya yang diperlukan kalau setiap dua hari sekali harus dipotong dan dilicinkan. Kabar ‘buruknya’, ide untuk memelontoskan rambut ini, ternyata membuat kecanduan. Panjang dikit pengen dipotong, panjang dikit pengen dipotong, panj.. udah dua kali aja. Ya gitu deh, karena adem, semriwing dan keren. Bukan hanya itu deng. Lelaki yang berani botak itu lelaki pemberani. Gak percaya? Cobalah tantang suamimu atau pacarmu untuk pelontosin rambut. Oya sebab kenapa aku beruban? Ini tidak lebih karena salah mantra. 
Ketika mau berubah jadi ranger merah, harusnya aku teriak Berubah!, tapi aku malah teriak Beruban! Jadilah aku beruban. Becanda deng.

Episode bulan-bulan ini juga bukan cuma diwarnai dengan nyetir dan uban, tapi terkaparnya aku oleh serangan bakteri salmonella sialan. Aku sempat dirawat selama tiga hari gegara kena gejala tipus. Istirahat total dirawat suster-suster cantik. Beneran, disini teori tentang cantik itu relatif, berlaku dengan jujur. Dari beberapa orang suster, semuanya cantik. Jadi gini, oke, cantik itu relatif, tapi apapun definisi cantik menurut kamu, kamu pasti akan bilang kalo mereka itu cantik. Sungguh.

Baiklah kita beralih ke tema lain. Beberapa minggu yang lalu, bapak mertuaku meninggal. Setelah sakit beberapa hari. Tidak begitu banyak kenangan tentangnya di memoriku karena aku jarang di rumah. Beliau pendiam, sedangkan aku punya kesulitan untuk memulai segala sesuatu dengan baik. Begitu banyak miskomunikasi antara kami. Tak pernah cerita, tak pernah ngobrol. Beliau kikuk, aku kikuk. Pada saat-saat terakhir pun aku belum sempat minta maaf, karena beliau semacam koma gitu. Tapi aku yakin kami saling memaafkan. Semoga beliau tenang di sana.

Aktifitas di pabrik juga berlaku seperti biasa. Melakukan pekerjaan rutin atau menyelesiakan hal-hal insidentil aku lalui dengan baik. Berangkat dengan Migu—oya Migu itu nama sepeda motorku yang berisiknya minta duit, eh ampun. Motor paling keren sepabrik. Bukan pabrik motor, tapi pabrik jus. Paling irit BBM, paling sering mogok, paling banyak yang nawar, juga motor dengan pemilik paling keren versi ibu-ibu komplek. Pernah nabrak mobil, spartboard depan hancur, pernah jatuh gegara kesalahan perhitungan dalam waktu sepersekian detik. Aku tahu didepan ada lubang di jalanan, tapi aku terlambat menyadari sehingga aku terjatuh dan lupa jalan pulang, aku butiran debu. Maksudku aku jatuh dan kelingking kiriku berdarah. Lututku memar, dan wajahku ganteng. Berangkat pagi-pagi setelah rebut dengan anak masalah mandi. Ngawasin gosok gigi, pake baju sekolah, dan kadang-kadang nganterin. Terlambat masuk gegara mogok, terlambat pulang gegara browsing dulu. Nengokin fesbuk, tewiter, atau sekedar cari inspirasi

Habis maghrib atau isya, belajar hal-hal baru. Desain grafis, autocad, atau mulai serius nulis lagi. Tiap malem aku harus belajar. Kalau tidak istriku tidak suka. Jadi aku berasa anak SD lagi. Jangan harap main game atau nonton film donlotan. Kecuali malam minggu. Tapi kalo aku bawa serial terbaru Hunter X Hunter, istriku sumringah dan boleh nonton.

Sebagai peminum kopi yang taat, sebelum belajar biasanya aku menyeduh kopi terlebih dahulu. Dengan racikan yang bikin istri mengomel, karena hamper setengah cangkir sendiri kopinya, dengan gula sedikit. Menyisakan endapan yang cukup tinggi di dasar cangkir sewaktu dicuci. Setelah minum kopi kemudian memasuki kondisi alfa bukan mart. Alias tertidur dengan ganteng. Entahlah mungkin ini sebuah anomaly. Ketika orang lain sebelum tidur minum kopi jadi terjaga sepanjang malam, setelah minum kopi aku malah seperti menenggak obat tidur dosis sedang.

Bangun kelewat pagi. Saat tukang sayur berangkat, aku sudah terjaga. Dan menemukan kesulitan-kesulitan hanya sekedar untuk terlelap kembali paling tidak ketika adzan subuh berkumandang. Bangun menjerang air, menyeduh kopi dan menikmatinya supaya siangnya jadi ganteng seratus persen. Oke kamu boleh tidak percaya, tapi dunia sudah mengakuinya. Mengakui bahwa aku ngarang.

Demikianlah, pengetikan postingan ini diinterupsi oleh anakku yang tiba-tiba mengajakku untuk main ke danau di seberang kampung. Membuat sedikit kesenangan dengan mengebut di sempadan danau. Anakku jadi navigator yang cuma bisa teriak, “Awas yah, lubang!”, “Awas yah, tai kebo!” mencari buah kersen liar, kemudian berhenti menonton kerbau berenang. Seperti banteng Afrika bermigrasi mencari rumput tetangga yang lebih hijau. Merindukan hujan yang tak kunjung datang.

3 komentar:

Sahroji mengatakan...

Keren euy!!! izin share y mas?!!

Unknown mengatakan...

baguuussss :))

pinsiltempur mengatakan...

oke....