Kamis, Oktober 13, 2011

Bunda, Ayah Sakit Jiwa....



Paris, sebelum subuh….

Bunda, Ayah harap Bunda membaca catatan ini. Ini bukan diary. Sebab kalau diary, kesannya banci banget kan bunda? Ayah menyebutnya jurnal. Seperti Ibrahim dan Musa yang tak pernah alpa mencatatkan kegiatannya tiap hari. Sangat jauh bunda, kalau ayah menyamakan diri seperti Ibrahim dan Musa. Mereka lelaki pilihan yang tahan tempaan dan ujian. Sedangkan ayah, lelaki ‘sakit’ yang selalu bunda kuatkan tiap hari. Ayah bersyukur bisa menikahi bunda.

Bunda tahu, kita berangkat dari kekosongan jiwa masing-masing. Pelan-pelan kita saling mengisi kekosongan itu. Bunda juga tahu, ayah belum pernah sekalipun bilang ‘I love you’ atau ‘aku cinta padamu’ pada bunda. Ayah hanya ingin selalu jujur pada bunda. Meskipun kadang kejujuran ayah menyakiti bunda. Dan pada saat ayah bisa mengatakannyapun, ayah masih belum setulusnya mencintai bunda. Kenapa? Karena ayah masih mengharapkan pelayanan bunda. Ayah masih berharap bunda mencemburui ayah. Sedangkan ayah menganut madzhab cinta yang mengatakan kalau cinta yang tulus adalah cinta yang tidak mengharapkan apapun dari orang yang kita cintai. Mencintai, itu saja.

Bunda…bunda tahu juga kan?kalau ayah ‘sakit’? Pikiran ayah jarang sekali bersemayam di tempurung kepala ayah. Bahkan saat ayah berkendara pun, pikiran itu melayang entah kemana…dan akhirnya kita bertengkar karena hampir-hampir celaka. Masih banyak daftar sakit ayah yang mungkin kalau bukan bunda, tak akan sanggup dia mendengarnya. Ayah pernah bilang ke bunda kalau ayah punya kecenderungan ingin menghabisi seseorang. Bunda dengar itu. Dan bunda tetap tenang mengingatkan ayah agar itu jangan sampai terjadi. Daftar sakit ayah macam-macam, ayah mungkin psikopat, ayah juga menderita oedipus complex. Mengerikan sekali bukan? Tapi ayah masih bersyukur, ayah tidak menderita Schizophrenia. Amit-amit ya bunda, Naudzubillah.

Mungkin ayah kelihatan baik diluarnya. Bunda pernah dengar juga kan? Curhat ayah tentang sebuah nama yang begitu berkarat di benak ayah, nama yang seharusnya membuat bunda begitu cemburu—tapi bunda tidak. Padahal ayah tahu itu pasti sangat-sangat menyakitkan waktu bunda mendengarnya. Bunda sering protes melihat meja ayah berantakan, bekas koran, buku, gelas kopi, kertas,alat tulis dan tempat tidur yang berantakan. Ayah selalu berlindung di balik ‘otak kanan’. Ayah selalu berdalih kalau seseorang yang dominan menggunakan otak kanannya pasti akan mempunyai ciri-ciri seperti di atas.

Oya ayah pernah curiga kalau yang menyebabkan ‘sakit’ ayah adalah adanya makhluk lain yang bersarang di benak ayah. Dan kita sepakat untuk mengeluarkan makhluk itu melalui cara-cara yang syar’i. Tapi setelah ayah cari-cari informasi di internet, banyak dari mereka yang mengklaim bisa menyelesaikan ‘penyakit rohani’ seperti yang ayah derita ternyata banyak yang tidak menggunakan cara-cara syar’i. Akhirnya bunda menyarankan agar ayah bisa mengendalikan diri, mengendalikan ‘makhluk-makhluk jahat’ yang bersarang di kepala ayah. Ternyata ayah bisa. Ayah bisa sembuh, bunda. Ayah bisa ‘bermain-main’ lagi. Ayah menyebutnya bangkit dari dekapan uap neraka. Ayah bahagia, demikian juga ayah lihat dari mata bunda.

Tapi ayah heran, kenapa semenjak ayah sembuh, bunda jadi rajin memeriksa ponsel ayah? Bunda jadi curiga kalau ponsel ayah berdering malam-malam? Apakah ini tandanya kalau bunda sudah bisa mencemburui ayah, setelah bertahun-tahun kita menikah? Ayah tidak tahu harus bagaimana, bahagia atau khawatir? Tapi yang jelas ayah tidak nyaman kalau bunda terus-terusan mencemburui ayah.

Bunda, pagi ini ayah sedang berada di Menara Eifel. Dingin sekali bunda, sedingin hati ayah. Ayah menggenggam sepucuk revolver dengan lima peluru. Ayah menyelinap semalam. Ayah juga tidak tahu kenapa ayah bisa melewati penjagaan aparat. Ayah tidak takut apa-apa lagi. Tekad ayah sudah bulat. Selamat tinggal bunda, maafkan segala dosa ayah.

Oya bunda pikir ayah mau bunuh diri ,ya? Atau ayah mau membunuh seseorang? Tidak bunda, ayah cuma gemas pada lampu-lampu yang menghiasi menara sialan ini. Ya lima peluru untuk lima lampu. Ayah kira cukup. Ayah hanya ingin kencing dari atas menara sialan ini tanpa dilihat orang, Bunda.

Tidak ada komentar: